Semenjak pertemuan kedua dengan puspa, hubungan kami pun
mulai berjalan dengan arah komunikasi 2 arah. Komunikasi yang membuat kita
saling memberi waktu lebih setidaknya untuk urusan yang tidak biasa kita lakukan.
Komunikasi ini berjalan dengan sebuah pertanyaan yang disambut dengan
pertanyaan yang lain. Bersambung lidah melalui media dan menghasilkan sebuah
teori klasik yaitu PERHATIAN.
Bagai kail pancing yang disambut ikan, mungkin begitu lah
perumpamaan yang pas antara aku dan puspa. Ikan pun meraih kail pancing dan
menariknya hingga terjadi tarik menarik seperti seorang pemancing menarik ulur
pancingnya. Ketika kail pancing tidak disambung oleh ikan, sang pemacing pun
menunggu dan terus menunggu, bersabaran berharap dan penuh keyakinan bahwa ikan
akan meraih mata kailnya dan terjadi tarik ulur.
Kini hampir setiap malam kami berdua setidaknya mengucapkan
selamat tidur satu dengan yang lain. Sungguh sikap yang tidak biasa kami
lakukan sebelumnya. Walaupun baru 2 kali bertemu dengan puspa, aku dan dia
bagai sudah mengenal lama dan tanpa ada kata canggung diantara kita.
Pertemuan kembali terjadi di hari sabtu di kedai dan meja
nomor 22 yang mempertemukan kita dalam situasi yang aku sebut ketidaksengajaan.
Namun berbeda kali ini, kami sudah membuat janji sebelumnya. aku yang biasanya hanya
memakai kaos dan jeans hitam bahkan tanpa sepercik parfum menempel dibadan,
untuk menghabiskan sabtu-sabtu sebelumnya. Tapi sekarang aku pun mencoba
memberikan penampilan tak secuek biasanya. Dengan kemeja ungu muda, jeans hitam
serta sepatu hitam slop yang sudah lama tersimpan di lemari dan sekarang
membalut badanku yang cukup gempal ini, percikan parfum yang kubeli beberapa
hari lalu di seorang teman juga ikut menempel di beberapa titik badan serta
bajuku. menerjang angin sore dan jalan poros Makassar yang cukup rame sore itu,
aku dengan motor matic hitam kesayanganku melaju cukup terburu-buru menuju arah
kota.
Cukup terburu-buru karena aku terlalu lama didepan kaca
untuk pertemuan kali ini, sesampainya di kedai kopi itu terlihat di parkir
tidak seramai biasanya. Motor matic putih puspa terlihat terparkir dibagian
ujung area parkir dan tersandar sendiri. Aku pun memarkir disamping motor
puspa. Setelah mengambil karcis parkir dari seorang tukang parkir yang selalu
mengenakan peci itu, handpone di kantong berbunyi dan berisi pesan singkat dari
puspa. “kamu sudah sampai mana? Kok temben aku yang sampai duluan? Heheh”
membaca pesan tersebut seolah kaki ini
tidak bisa diajak kompromi untuk bejalan lambat, begitu cepat dan seolah
terburu-buru sambil tersenyum melewati waiters yang membuka pintu kedai.
Kembali meja nomor 22 di lantai 2 kutuju dan terlihat dari
tangga puspa yang sudah duduk dengan wajah segar serta bibir dengan lipsglose
tipis tersenyum menyambut kedatanganku di meja nomor 22. Bahkan sabtu ini puspa
begitu terlihat istimewa dengan kemeja motif kekinian serta jeans biru yang
selaras dengan sepatu nya. Ahhhh aku baru saja melihat seorang bidadari yang
kehilangan sayap dan lupa cara kembali kekanyangan. Entah kenapa jantung ini
berdetuk kencang dengan mata yang begitu terkagum kagum.
Selamat sore cantikk…
kata spontan lepas dari bibir ini. Kemudian disambut dengan tawa puspa yang
begitu tergelitik.. “ah kamu bisa aja, selamat sore juga ganteng”. Oh tidak akhirnya selain ibuku ada juga yang
bilang aku ganteng, walaupun aku tahu itu bohong.hehehe. aku pun duduk dan
merai sebuah menu dihadapanku. Waiters pun menghampiri, “2 gelas cappuccino
dingin mbak,ketang goreng rasa bawang 1, dan air mineral nya 2 ya mbk” sahut
puspa dengan cepat yang seolah sudah membaca pikiranku.
Kami pun memulai perbincangan begitu hangat hingga sebuah
band lokal yang sedang manggung di kedai kopi tersebut menyanyikan sebuah lagu
yang baru aku tau kalau puspa begitu mengagumi dan menyukai lagu tersebut
Written
in these walls are the stories that I can't explain
I
leave my heart open but it stays right here empty for days
She
told me in the morning she don't feel the same about us in her bones
It
seems to me that when I die these words will be written on my stone
And
I'll be gone gone tonight
The
ground beneath my feet is open wide
The
way that I been holdin' on too tight
With
nothing in between
The
story of my life I take her home
I
drive all night to keep her warm and time..
Is
frozen (the story of, the story of)
The
story of my life I give her hope.
I
spend her love until she's broke inside
The
story of my life (the story of, the story of)
Written
on these walls are the colors that I can't change
Leave
my heart open but it stays right here in its cage
I
know that in the mornin' I'll see us in the light upon your ...
Although
I am broken my heart is untamed still
Puspa menikmati begitu santai dan mengahayati kata demi kata
dilagu itu, sehingga melihat gaya puspa begitu menikmati lagu, bibir ku pun
ikut bergoyang mengikuti irama lagu.
“eh mas, kamu udah pernah merasakan sayang kepada orang lain
selain keluarga dan sahabat ga?” pertanyaan puspa begitu terasa spontan
diiringi dengan music yang begitu jelas terdegar di lantai 2 kedai itu.
“pernah sih, bahkan sangat sangat sayang, namun.. ah
sudahlah udah berlalu kok” sahutku begitu spontan dan agak terasa nyeri di hati
ini.
“aku pernah mas, sangat sayang sama laki-laki tapi laki-laki
itu meninggalkan aku dan lebih memilih temanku sendiri. Semacam cinta segitiga
namun akhirnya aku harus rela melepas dia. Karena bagiku cinta itu
mempertahanin, tapi kalo yang bertahan hanya satu pihak bagaimana bisa kuat ini
rasa sayang” ujar puspa begitu dalam seiring lagu yang dibawakan oleh band
dikedai itu berakhir.
Entah kenapa puspa begitu spontan mengungkapkan itu semua,
entah mungkin kalo aku melanjutkan 2 hingga 3 pertanyaan tentang masalalunya
mungkin mata cantiknya itu akan berair dan kesedihan akan memuncak dibenak
puspa.
Aku tidak begitu rela melihat sedih nya di sabtu sore ini,
aku juga tidak ingin air matanya itu menetes jatuh membasahi pipi nya. Aku
bahkan tidak ingin kebersamaan ini,sabtu sore ini akan sedih dan membuat meja
kami seolah mendung dirundung kekesalan dan kekecewaan masa lalu. Yang hanya
aku ingin lihat sore ini adalah senyum puspa yang seperti kemarin seperti lampu
lampu kedai yang menerangi setiap meja demi meja di kedai itu.
Aku pun mengeluarkan senyumanku, senyuman andalan ku. Aku
ingin puspa menyambut senyumku. Senyum yang mengartikan bahwa kamu harus
tersenyum, aku tidak ingin membahas itu. Seolah sore ini puspa begitu mengerti
aku, dia pun tersenyum menahan sedihnya untuk sore ini.
“sudah ya, mungkin ini belum waktu yang paling tepat untuk
kita saling menceritakan masalalu kita” sahutku mengiringin senyum puspa
“iya mas, aku ngerti arti senyummu” ungkap puspa
Kedai kopi pun semakin sore semakin ramai, sahut sahut
perbincangan klasik dan tawa kecil menghiasi sore kedai itu, alunan musik band
di kedai itu membuat suasana menjadi semakin enak dan nyaman. Tawa kecil puspa yang semakin sering dalam
sela-sela obrolan dan cerita-cerita tentang kegiatan seminggu ini pun membuat
seakan waktu tak terasa. Seperti biasa hingga magrib menjelang dan datang, kami
pun selalu tepat berjamaah di musollah kecil kedai itu.
Seusai magrib biasa puspa yang sudah mulai gelisah untuk
beranjak dari kursi meja no 22. Puspa pun menandakan bahwa dia memang
mengosongkan agenda di sore ini hanya untuk dengan ku. Namun aku tidak mau
berspekulasi begitu cepat. Aku hanya ingin ini mengalir saja tak seperti
terpaksakan dan memaksa.
Jika memang ketertarikan itu ada, aku hanya ingin puspa yang
memulainya tanpa dia merasa terpaksa. Terlalu cepat aku memulai,akan terlalu
lama aku menyakiti diri sendiri.
Ditengah lamunan ku yang tak pasti dan penuh kemungkinan,
puspa pun mengagetkanku dengan gelitikannya dari belakang.
“hayo mikirin apa”
“mikirin kamu”
ketawaku terbahak-bahak
“ah mas ini, jangan begitu dong. Kan aku jadi malu.heheh….
mas sih dari tadi ngelamun sampe gak sadar aku kebelakang mas pun gak sadar”
Aku begitu kaget sekali, selama itu kah aku melamun tentang
dia?... ah sudahlah lagian aku masih disini, masih melihat dia begitu bahagia
dan cerah di malam yang mulai menggelap. Malam kali ini tidak akan membohongiku
dengan gelapnya yang seolah melindungi, tapi membuat aku merasa sepi.
“puspa?” suara seorang wanita dari arah belakangku disambut
rasa heran puspa seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya
“iye, vi” dengan lirih puspa menjawab pertanyaan itu.
“apa kabar?” seorang wanita cantik berhijab menghampiri meja
kami dan seolah mengenal puspa begitu lama.
“baik vi, kamu apakabar? Bukannya kemarin dijakarta?” mimik
wajah puspa dengan begiitu heran
“iya uppa, ini aku balik lagi kemakassar buat soalnya
dijakarta udah ada yang nghendel. Heheh”
“oh begitu…. Sendiri aja? Ini kenalin mas agus” ucap puspa
dengan menunjuk kearah ku
Disambut tangan hangat wanita berhijab begitu modis ini
seolah ramah dan menawarkan untuk aku mengenal dirinya.
“kenalin mas, aku vivi. Temannya puspa waktu sma” dengan
lontaran senyum dari vivi menjabat tanganku
“iya, aku agus mbak vivi. Salam kenal” sahut ku
“pacarmu ya uppa” pertanyaan begitu spontan ditujukan vivi
untuk puspa.
“hehehe bukan vi… temen kok” sahut puspa.
Aku terlamun sedikit membayangkan jika puspa meng-iya-kan
pertanyan vivi yang terakhir tadi. Heheh. Lagian terlalu cepat juga sih..
hehehe
“boleh aku duduk gabung bareng kalian? Lagian aku sendiri
nih kesini” kata vivi sambil memanggil seorang waiters untuk mengambil menu dan
meminta kursi agar dia bisa duduk bersama kami di meja 22.
Pembicaraan seru pun terjadi, vivi yang saya lihat begitu
ramah dan asik dengan puspa membuatku hanya meperhatikan. Kemudian vivi pun
memesan es coklat kepada waiters. Tak lama kemudian puspa pun mengenalkan agak
detail tentang vivi kepadaku.
Vivi yang merupakan teman akrab puspa sejak kelas 2 sma ini
adalah seorang wanita pengusaha. Anak bungsu dari 7 bersaudara, vivi yang
ditinggal ibunya sejak kecil dirawat papa dan kakak-kakaknya. Vivi yang begitu
mandiri dari kecil memang diperlakukan begitu protektif oleh keluarganya. Vivi
yang juga mengurusi usaha keluarga nya ini sempat di jakarta selama beberapa
bulan dan terpaksa menunda kuliah nya karena cabang perusahaan nya di jakarta
begitu ramai banyak yang diurus. Sehingga vivi harus menghendel kantor
di jakarta beberapa bulan akhir-akhir ini.
Memang vivi dan puspa sudah lama berpisah dan lose contact
sebagai seorang sahabat dekat. Kesibukan dan beda kampus membuat mereka
berjarak dan bahkan lupa kalau mereka adalah sahabat akrab. Wajah sedikit
canggung yang ditunjukkan puspa menandakan dia masih belum percaya dan belum
siap bertemu dengan vivi dengan suasana secanggung ini.
Seolah ada yang disembunyikan dan ditutupi. Tetapi dengan
kemampuan komunikasi vivi yang cukup baik, akhirnya vivi berhasil menutup
cela-cela setiap raut wajah canggung seorang puspa.
Setelah dikenalkan memang beberapa menit setelah itu mereka
berdua mencampakkan kan aku yang ada didepan mereka. Vivi yang begitu supel dan
terlihat modis membuat mata setiap orang bisa menilai secara langsung bahwa
vivi adalah seorang wanita karier. Walaupun memang masih berstatus mahasiswa,
vivi memang terlihat sangat dewasa dibandingkan dengan wanita seusianya.
Aku hanya terdiam mengamati setiap gerak dari bibir vivi
yang mencoba merayu dan mengembalikan kenangan-kenangan masa lalu mereka kepada
puspa. Seolah terhipnotis, puspa pun begitu cepat terbawa suasana setiap detail
pembicaraan vivi.
Es coklat datang meramaikan meja kami yang biasa hanya 2
gelas capoccino dingin. Es coklat itu kini begitu menghidupkan dan
membangkitkan suasana di meja nomor 22. Senyum lebar dan tawa kecil kini mulai
meraba setiap badan ini untuk tetap menikmati kehadiran es coklat di meja kami.
Terlihat sekilas dari pandanganku, vivi adalah seorang yang
ambisius dan dapat mencapai targetnya. Terbukti dimana wajah canggung puspa
kini telah berbuah senyum bahkan tawa kecil seolah rayuan dari gadis berlesung
pipi itu masuk kedalam rongga pikiran puspa dan menstimulus semua kenangan masa
sma mereka.
Kini aku hanya mengamati sesekali masuk dalam drama
pembicaraan dua sahabat yang baru saja bertemu dalam ketidaksengajaan itu.
Seolah kedai ini memiliki arti medalam bagi mereka. Bahkan aku menangkap cara
mereka duduk sepertinya sudah mengenal lama kedai ini. Keakraban itu terbentuk
kembali walau ada sebuah celah kosong yang mereka tidak sanggup untuk saling
membuka bahkan membahas celah kosong itu. Tapi sudahlah setidaknya meja ini menjadi
ramai dan aku sangat menikmati suasana ini, ya suasana dengan tawa kecil dari
wanita cantik didepanku.
Aku sangat menikamati setiap lirikan puspa seolah mengajak
ku untuk masuk dalam kenangannya bersama vivi, aku begitu tau lirikan itu
seolah menyuruhku untuk terlibat dalam pembicaraan seru mereka. Bahkan
pandangan vivi kearah ku sangat mencurigai aku, seolah bertanya ada apa aku
dengan puspa. Tapi sudahlah setidaknya aku juga masuk dalam pembicaraan mereka,
walaupun terasa asing bagi vivi.
Vivi juga masih terasa asing bagiku, walaupun dia sudah
membuat pembicaraan di meja kami semakin hidup. Aku masih belum bisa menarik
hipotesis sedikit pun dari hasil pengamatan tentang pembicaraan mereka yang
seolah ada sebuah lubang cela yang tidak mau mereka buka, bahkan mungkin saling
menunggu untuk siapa yang membuka.
Malam pun semakin larut hampir 3 jam kami disini, seolah
sudah 5 tahun suasana dan rasa yang kami rasakan dimeja ini. Gelas kami pun
masing-masing sudah kosong. Tiba saatnya kami meninggalkan meja nomor 22 dan
membiarkan diisi oleh pengunjung lain.
Tagihan semua pesanan pun di bayar oleh vivi dengan dalih
bahwa dia yang meneraktir kami. Padahal tidak ada acara special diantara kami
bertiga. Mungkin acara special itu adalah pertemuan 2 orang sahabat yang lama
tidak saling sapa.
Sembari jalan menuju parkiran, vivi pun meminta nomor
handphone aku dan puspa. Kami pun saling mencatat nomor dan memasukkan ke
kontak handphone kami. Vivi menuju keparkiran mobil sedangkan aku dan puspa
mengambil motor kita yang bersebelahan di ujung halaman parkir motor kedai kopi
itu.
Sesampainya di parkir motor, puspa pun tiba-tiba
menghentikan langkah seolah ingin bercerita. Aku begitu paham dan mengerti kode
itu,, “kenapa? Kalo ada yang ganjel diceritain.. kan ada aku” pertanyaan ku
langsung membuat puspa menunduk dan bercerita.
“sebenarnya aku dan vivi punya sebuah kotak kenangan yang
sangat menyakitkan bagi kita berdua, tapi kita sudah menguburnya tidak begitu
dalam namun tidak akan terlihat. Tapi kami tau bahwa kami tidak boleh membuka
dan menggali itu. Tapi aku sangat begitu tersiksa mas, pertemuan tadi awalnya
aku belum siap, tapi berkat vivi yang berubah dan bisa meyakinkan aku bahwa
kami tidak boleh saling jauh lagi. Kami sudah lama merasa kehilangan, gara-gara
aldo mas!!!!”
Aku begitu yakin dan sedikit terpukau dengan statement yang
keluar dari bibir puspa. Begitu tak tertahan seolah bendungan yang penuh dan
diterjang hujan lebat. Tapi aku tidak akan memberikan sepatah kata pun hingga
puspa begitu lega dan meminta pendapatku.
“aldo mas, dia laki-laki yang membuat kami merasakan dunia
kami masing-masing. Laki-laki yang membawa aku kedalam suasana yang begitu
banyak rasa. Hingga akhirny dia membawaku terbang dan melepaskan ku seolah dia
tidak peduli bahwa aku tidak punya sayap untuk terbang.”
Vivi pun mulai berkecambuk dan membuat kedua bola matanya
mulai berair. Aku pun mencoba meraih pundaknya mencoba tidak membiarkan air
matanya menetes dan membasahi tanah yang
kami injak.
“aldo udah membuat vivi dan aku jatuh cinta mas, hingga
akhirnya kami tidak mampu lagi berbagi. Bahkan hingga akhirnya aku memutuskan
untuk memilih pergi dan menjauh dari mereka. Aku gak mau kehilangan sahabat
sebaik vivi. Tapi aku udah terlalu sakit dengan aldo”
Seolah membaca suasana aku pun menyimpulkan bahwa mereka
terlibat cinta segitiga. Dimana diantara mereka tidak ada yang mau kehilangan..
walau dalam benakku masih penasaran bagaimana aldo ini.
“sudah dek, kamu gak pantes nangis loh ya. Kasian nanti
parkiran ini bakal banjir loh gara-gara ada air mata yang jatuh deras..
bagaimana aku begitu tega melihat kamu menangis, nanti tukang parkir mendadak
menghakimi aku dan melaporkan aku ke polisi, dikira nanti aku mukulin bidadari
diparkiran.. hehe” ujar ku bermaksut menghibur puspa agar tidak sedih
“ ah mas bisa aja ah ngeledeknya.. udah ah udah ah pulang…
dari pada aku senyum senyum sendiri di gombalin sama mas agus” sahut puspa
dengan senyum manisnya.
Akhirnya kami pun melaju motor kami meninggalkan parkiran
kedai itu.
Sesampainya dikostn, handphone bordering dan ada pesan dari
puspa
“makasih ya mas udah mencoba menahan air mataku dengan
gombalanmu yang garing diparkiran, kamu cepet istirahat mas!! Besok minggu pagi
ketemu di pantai losari ya kita jogging… mau kan?”
Belum sampai ku buka pintu kamar kostn aku mendadak
kesurupan jingkrak jingkrak begitu senang dan tidak percaya bahwa besok pagi
harus bangun lebih pagi untuk melihat senyum manis puspa.
Langsung ku balas
pesan itu..
“ok, see you…. :) selamat malam jangan lupa nyalain alarm… :)”
Begitu singkat dan langsung membuatku nyenyak
tidur malam ini.