Selasa, 31 Maret 2015

Sinopsis (Mentari, Kopi Sachet dan Kamu)



sumber: Path

Pagi ini memang akan menjadi berbedaDimana ada kamu yang sejak subuh menanti kuMenanti untuk alasan kamuflaseKamuflase dalam langkah menyusuri pagi
Bahkan ketika kecerobohanku datangKamu begitu sabar menunggu Walaupun kita tidak tau dimana letak kitaHanya harapan mencari satu persatu di kala ribuan orang yang ada di pantai itu
Mentari pagi begitu menyapa Dari ufuk timur menyinari wajah mu Berseri dan begitu indahBahkan mentari tepat ada di senyuman itu
Kopi sachet ituJatuh mendarat di samping kitaTerbiarkan hilang panasnyaTerkena angin laut yang berhembus
Kini senyumu menjelma terlaluTerlalu manis Mengalahkan sacharin Pada gelas plastic kopi ini
Gelas plastic ini perlahanKehilangan volumenyaMenjadi kosongDan yang tertinggal adalah redemen
Lain hal dengan kitaKini kekosongan itu terisi Seiring dengan kosong nya gelas iniKekosongan itu terisi akan kerinduan
Jika memang terlalu banyak waktu yang terbuangTerbuang akibat kita terlalu takut untuk mengisiIni cukup adil jika kekosongan telah terisiOleh rasa rindu Yang diawali dengan ketidaksengajaan

Nantikan kelanjutan cerita rasa dalam Segelas Kopi beberapa hari kedepan depan.

Terima kasih para viewer dan stalker. :)

Minggu, 22 Maret 2015

Cappuccino Dingin dan Es Coklat





Semenjak pertemuan kedua dengan puspa, hubungan kami pun mulai berjalan dengan arah komunikasi 2 arah. Komunikasi yang membuat kita saling memberi waktu lebih setidaknya untuk urusan yang tidak biasa kita lakukan. Komunikasi ini berjalan dengan sebuah pertanyaan yang disambut dengan pertanyaan yang lain. Bersambung lidah melalui media dan menghasilkan sebuah teori klasik yaitu PERHATIAN.

Bagai kail pancing yang disambut ikan, mungkin begitu lah perumpamaan yang pas antara aku dan puspa. Ikan pun meraih kail pancing dan menariknya hingga terjadi tarik menarik seperti seorang pemancing menarik ulur pancingnya. Ketika kail pancing tidak disambung oleh ikan, sang pemacing pun menunggu dan terus menunggu, bersabaran berharap dan penuh keyakinan bahwa ikan akan meraih mata kailnya dan terjadi tarik ulur.

Kini hampir setiap malam kami berdua setidaknya mengucapkan selamat tidur satu dengan yang lain. Sungguh sikap yang tidak biasa kami lakukan sebelumnya. Walaupun baru 2 kali bertemu dengan puspa, aku dan dia bagai sudah mengenal lama dan tanpa ada kata canggung diantara kita.

Pertemuan kembali terjadi di hari sabtu di kedai dan meja nomor 22 yang mempertemukan kita dalam situasi yang aku sebut ketidaksengajaan. Namun berbeda kali ini, kami sudah membuat janji sebelumnya. aku yang biasanya hanya memakai kaos dan jeans hitam bahkan tanpa sepercik parfum menempel dibadan, untuk menghabiskan sabtu-sabtu sebelumnya. Tapi sekarang aku pun mencoba memberikan penampilan tak secuek biasanya. Dengan kemeja ungu muda, jeans hitam serta sepatu hitam slop yang sudah lama tersimpan di lemari dan sekarang membalut badanku yang cukup gempal ini, percikan parfum yang kubeli beberapa hari lalu di seorang teman juga ikut menempel di beberapa titik badan serta bajuku. menerjang angin sore dan jalan poros Makassar yang cukup rame sore itu, aku dengan motor matic hitam kesayanganku melaju cukup terburu-buru menuju arah kota.

Cukup terburu-buru karena aku terlalu lama didepan kaca untuk pertemuan kali ini, sesampainya di kedai kopi itu terlihat di parkir tidak seramai biasanya. Motor matic putih puspa terlihat terparkir dibagian ujung area parkir dan tersandar sendiri. Aku pun memarkir disamping motor puspa. Setelah mengambil karcis parkir dari seorang tukang parkir yang selalu mengenakan peci itu, handpone di kantong berbunyi dan berisi pesan singkat dari puspa. “kamu sudah sampai mana? Kok temben aku yang sampai duluan? Heheh” membaca pesan tersebut  seolah kaki ini tidak bisa diajak kompromi untuk bejalan lambat, begitu cepat dan seolah terburu-buru sambil tersenyum melewati waiters yang membuka pintu kedai.

Kembali meja nomor 22 di lantai 2 kutuju dan terlihat dari tangga puspa yang sudah duduk dengan wajah segar serta bibir dengan lipsglose tipis tersenyum menyambut kedatanganku di meja nomor 22. Bahkan sabtu ini puspa begitu terlihat istimewa dengan kemeja motif kekinian serta jeans biru yang selaras dengan sepatu nya. Ahhhh aku baru saja melihat seorang bidadari yang kehilangan sayap dan lupa cara kembali kekanyangan. Entah kenapa jantung ini berdetuk kencang dengan mata yang begitu terkagum kagum.

Selamat  sore cantikk… kata spontan lepas dari bibir ini. Kemudian disambut dengan tawa puspa yang begitu tergelitik.. “ah kamu bisa aja, selamat sore juga ganteng”.  Oh tidak akhirnya selain ibuku ada juga yang bilang aku ganteng, walaupun aku tahu itu bohong.hehehe. aku pun duduk dan merai sebuah menu dihadapanku. Waiters pun menghampiri, “2 gelas cappuccino dingin mbak,ketang goreng rasa bawang 1, dan air mineral nya 2 ya mbk” sahut puspa dengan cepat yang seolah sudah membaca pikiranku.

Kami pun memulai perbincangan begitu hangat hingga sebuah band lokal yang sedang manggung di kedai kopi tersebut menyanyikan sebuah lagu yang baru aku tau kalau puspa begitu mengagumi dan menyukai lagu tersebut

Written in these walls are the stories that I can't explain
I leave my heart open but it stays right here empty for days
She told me in the morning she don't feel the same about us in her bones
It seems to me that when I die these words will be written on my stone
And I'll be gone gone tonight
The ground beneath my feet is open wide
The way that I been holdin' on too tight
With nothing in between
The story of my life I take her home
I drive all night to keep her warm and time..
Is frozen (the story of, the story of)
The story of my life I give her hope.
I spend her love until she's broke inside
The story of my life (the story of, the story of)
Written on these walls are the colors that I can't change
Leave my heart open but it stays right here in its cage
I know that in the mornin' I'll see us in the light upon your ...
Although I am broken my heart is untamed still

Puspa menikmati begitu santai dan mengahayati kata demi kata dilagu itu, sehingga melihat gaya puspa begitu menikmati lagu, bibir ku pun ikut bergoyang mengikuti irama lagu.

“eh mas, kamu udah pernah merasakan sayang kepada orang lain selain keluarga dan sahabat ga?” pertanyaan puspa begitu terasa spontan diiringi dengan music yang begitu jelas terdegar di lantai 2 kedai itu.

“pernah sih, bahkan sangat sangat sayang, namun.. ah sudahlah udah berlalu kok” sahutku begitu spontan dan agak terasa nyeri di hati ini.

“aku pernah mas, sangat sayang sama laki-laki tapi laki-laki itu meninggalkan aku dan lebih memilih temanku sendiri. Semacam cinta segitiga namun akhirnya aku harus rela melepas dia. Karena bagiku cinta itu mempertahanin, tapi kalo yang bertahan hanya satu pihak bagaimana bisa kuat ini rasa sayang” ujar puspa begitu dalam seiring lagu yang dibawakan oleh band dikedai itu berakhir.
Entah kenapa puspa begitu spontan mengungkapkan itu semua, entah mungkin kalo aku melanjutkan 2 hingga 3 pertanyaan tentang masalalunya mungkin mata cantiknya itu akan berair dan kesedihan akan memuncak dibenak puspa.

Aku tidak begitu rela melihat sedih nya di sabtu sore ini, aku juga tidak ingin air matanya itu menetes jatuh membasahi pipi nya. Aku bahkan tidak ingin kebersamaan ini,sabtu sore ini akan sedih dan membuat meja kami seolah mendung dirundung kekesalan dan kekecewaan masa lalu. Yang hanya aku ingin lihat sore ini adalah senyum puspa yang seperti kemarin seperti lampu lampu kedai yang menerangi setiap meja demi meja di kedai itu.

Aku pun mengeluarkan senyumanku, senyuman andalan ku. Aku ingin puspa menyambut senyumku. Senyum yang mengartikan bahwa kamu harus tersenyum, aku tidak ingin membahas itu. Seolah sore ini puspa begitu mengerti aku, dia pun tersenyum menahan sedihnya untuk sore ini.

“sudah ya, mungkin ini belum waktu yang paling tepat untuk kita saling menceritakan masalalu kita” sahutku mengiringin senyum puspa

“iya mas, aku ngerti arti senyummu” ungkap puspa

Kedai kopi pun semakin sore semakin ramai, sahut sahut perbincangan klasik dan tawa kecil menghiasi sore kedai itu, alunan musik band di kedai itu membuat suasana menjadi semakin enak dan nyaman.  Tawa kecil puspa yang semakin sering dalam sela-sela obrolan dan cerita-cerita tentang kegiatan seminggu ini pun membuat seakan waktu tak terasa. Seperti biasa hingga magrib menjelang dan datang, kami pun selalu tepat berjamaah di musollah kecil kedai itu.

Seusai magrib biasa puspa yang sudah mulai gelisah untuk beranjak dari kursi meja no 22. Puspa pun menandakan bahwa dia memang mengosongkan agenda di sore ini hanya untuk dengan ku. Namun aku tidak mau berspekulasi begitu cepat. Aku hanya ingin ini mengalir saja tak seperti terpaksakan dan memaksa.

Jika memang ketertarikan itu ada, aku hanya ingin puspa yang memulainya tanpa dia merasa terpaksa. Terlalu cepat aku memulai,akan terlalu lama aku menyakiti diri sendiri.
Ditengah lamunan ku yang tak pasti dan penuh kemungkinan, puspa pun mengagetkanku dengan gelitikannya dari belakang.

“hayo mikirin apa”
“mikirin kamu”  ketawaku terbahak-bahak
“ah mas ini, jangan begitu dong. Kan aku jadi malu.heheh…. mas sih dari tadi ngelamun sampe gak sadar aku kebelakang mas pun gak sadar”

Aku begitu kaget sekali, selama itu kah aku melamun tentang dia?... ah sudahlah lagian aku masih disini, masih melihat dia begitu bahagia dan cerah di malam yang mulai menggelap. Malam kali ini tidak akan membohongiku dengan gelapnya yang seolah melindungi, tapi membuat aku merasa sepi.

“puspa?” suara seorang wanita dari arah belakangku disambut rasa heran puspa seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya

“iye, vi” dengan lirih puspa menjawab pertanyaan itu.

“apa kabar?” seorang wanita cantik berhijab menghampiri meja kami dan seolah mengenal puspa begitu lama.

“baik vi, kamu apakabar? Bukannya kemarin dijakarta?” mimik wajah puspa dengan begiitu heran

“iya uppa, ini aku balik lagi kemakassar buat soalnya dijakarta udah ada yang nghendel. Heheh”

“oh begitu…. Sendiri aja? Ini kenalin mas agus” ucap puspa dengan menunjuk kearah ku

Disambut tangan hangat wanita berhijab begitu modis ini seolah ramah dan menawarkan untuk aku mengenal dirinya.

“kenalin mas, aku vivi. Temannya puspa waktu sma” dengan lontaran senyum dari vivi menjabat tanganku

“iya, aku agus mbak vivi. Salam kenal” sahut ku

“pacarmu ya uppa” pertanyaan begitu spontan ditujukan vivi untuk puspa.

“hehehe bukan vi… temen kok” sahut puspa.

Aku terlamun sedikit membayangkan jika puspa meng-iya-kan pertanyan vivi yang terakhir tadi. Heheh. Lagian terlalu cepat juga sih.. hehehe

“boleh aku duduk gabung bareng kalian? Lagian aku sendiri nih kesini” kata vivi sambil memanggil seorang waiters untuk mengambil menu dan meminta kursi agar dia bisa duduk bersama kami di meja 22.

Pembicaraan seru pun terjadi, vivi yang saya lihat begitu ramah dan asik dengan puspa membuatku hanya meperhatikan. Kemudian vivi pun memesan es coklat kepada waiters. Tak lama kemudian puspa pun mengenalkan agak detail tentang vivi kepadaku.

Vivi yang merupakan teman akrab puspa sejak kelas 2 sma ini adalah seorang wanita pengusaha. Anak bungsu dari 7 bersaudara, vivi yang ditinggal ibunya sejak kecil dirawat papa dan kakak-kakaknya. Vivi yang begitu mandiri dari kecil memang diperlakukan begitu protektif oleh keluarganya. Vivi yang juga mengurusi usaha keluarga nya ini sempat di jakarta selama beberapa bulan dan terpaksa menunda kuliah nya karena cabang perusahaan nya di jakarta begitu ramai banyak yang diurus. Sehingga vivi harus menghendel kantor di jakarta beberapa bulan akhir-akhir ini.

Memang vivi dan puspa sudah lama berpisah dan lose contact sebagai seorang sahabat dekat. Kesibukan dan beda kampus membuat mereka berjarak dan bahkan lupa kalau mereka adalah sahabat akrab. Wajah sedikit canggung yang ditunjukkan puspa menandakan dia masih belum percaya dan belum siap bertemu dengan vivi dengan suasana secanggung ini.

Seolah ada yang disembunyikan dan ditutupi. Tetapi dengan kemampuan komunikasi vivi yang cukup baik, akhirnya vivi berhasil menutup cela-cela setiap raut wajah canggung seorang puspa.
Setelah dikenalkan memang beberapa menit setelah itu mereka berdua mencampakkan kan aku yang ada didepan mereka. Vivi yang begitu supel dan terlihat modis membuat mata setiap orang bisa menilai secara langsung bahwa vivi adalah seorang wanita karier. Walaupun memang masih berstatus mahasiswa, vivi memang terlihat sangat dewasa dibandingkan dengan wanita seusianya.

Aku hanya terdiam mengamati setiap gerak dari bibir vivi yang mencoba merayu dan mengembalikan kenangan-kenangan masa lalu mereka kepada puspa. Seolah terhipnotis, puspa pun begitu cepat terbawa suasana setiap detail pembicaraan vivi.

            Es coklat datang meramaikan meja kami yang biasa hanya 2 gelas capoccino dingin. Es coklat             itu kini begitu menghidupkan dan membangkitkan suasana di meja nomor 22. Senyum lebar               dan tawa kecil kini mulai meraba setiap badan ini untuk tetap menikmati kehadiran es coklat               di meja kami.

Terlihat sekilas dari pandanganku, vivi adalah seorang yang ambisius dan dapat mencapai targetnya. Terbukti dimana wajah canggung puspa kini telah berbuah senyum bahkan tawa kecil seolah rayuan dari gadis berlesung pipi itu masuk kedalam rongga pikiran puspa dan menstimulus semua kenangan masa sma mereka.

Kini aku hanya mengamati sesekali masuk dalam drama pembicaraan dua sahabat yang baru saja bertemu dalam ketidaksengajaan itu. Seolah kedai ini memiliki arti medalam bagi mereka. Bahkan aku menangkap cara mereka duduk sepertinya sudah mengenal lama kedai ini. Keakraban itu terbentuk kembali walau ada sebuah celah kosong yang mereka tidak sanggup untuk saling membuka bahkan membahas celah kosong itu. Tapi sudahlah setidaknya meja ini menjadi ramai dan aku sangat menikmati suasana ini, ya suasana dengan tawa kecil dari wanita cantik didepanku.

Aku sangat menikamati setiap lirikan puspa seolah mengajak ku untuk masuk dalam kenangannya bersama vivi, aku begitu tau lirikan itu seolah menyuruhku untuk terlibat dalam pembicaraan seru mereka. Bahkan pandangan vivi kearah ku sangat mencurigai aku, seolah bertanya ada apa aku dengan puspa. Tapi sudahlah setidaknya aku juga masuk dalam pembicaraan mereka, walaupun terasa asing bagi vivi.

Vivi juga masih terasa asing bagiku, walaupun dia sudah membuat pembicaraan di meja kami semakin hidup. Aku masih belum bisa menarik hipotesis sedikit pun dari hasil pengamatan tentang pembicaraan mereka yang seolah ada sebuah lubang cela yang tidak mau mereka buka, bahkan mungkin saling menunggu untuk siapa yang membuka.

Malam pun semakin larut hampir 3 jam kami disini, seolah sudah 5 tahun suasana dan rasa yang kami rasakan dimeja ini. Gelas kami pun masing-masing sudah kosong. Tiba saatnya kami meninggalkan meja nomor 22 dan membiarkan diisi oleh pengunjung lain.

Tagihan semua pesanan pun di bayar oleh vivi dengan dalih bahwa dia yang meneraktir kami. Padahal tidak ada acara special diantara kami bertiga. Mungkin acara special itu adalah pertemuan 2 orang sahabat yang lama tidak saling sapa.

Sembari jalan menuju parkiran, vivi pun meminta nomor handphone aku dan puspa. Kami pun saling mencatat nomor dan memasukkan ke kontak handphone kami. Vivi menuju keparkiran mobil sedangkan aku dan puspa mengambil motor kita yang bersebelahan di ujung halaman parkir motor kedai kopi itu.

Sesampainya di parkir motor, puspa pun tiba-tiba menghentikan langkah seolah ingin bercerita. Aku begitu paham dan mengerti kode itu,, “kenapa? Kalo ada yang ganjel diceritain.. kan ada aku” pertanyaan ku langsung membuat puspa menunduk dan bercerita.

“sebenarnya aku dan vivi punya sebuah kotak kenangan yang sangat menyakitkan bagi kita berdua, tapi kita sudah menguburnya tidak begitu dalam namun tidak akan terlihat. Tapi kami tau bahwa kami tidak boleh membuka dan menggali itu. Tapi aku sangat begitu tersiksa mas, pertemuan tadi awalnya aku belum siap, tapi berkat vivi yang berubah dan bisa meyakinkan aku bahwa kami tidak boleh saling jauh lagi. Kami sudah lama merasa kehilangan, gara-gara aldo mas!!!!”

Aku begitu yakin dan sedikit terpukau dengan statement yang keluar dari bibir puspa. Begitu tak tertahan seolah bendungan yang penuh dan diterjang hujan lebat. Tapi aku tidak akan memberikan sepatah kata pun hingga puspa begitu lega dan meminta pendapatku.

“aldo mas, dia laki-laki yang membuat kami merasakan dunia kami masing-masing. Laki-laki yang membawa aku kedalam suasana yang begitu banyak rasa. Hingga akhirny dia membawaku terbang dan melepaskan ku seolah dia tidak peduli bahwa aku tidak punya sayap untuk terbang.”

Vivi pun mulai berkecambuk dan membuat kedua bola matanya mulai berair. Aku pun mencoba meraih pundaknya mencoba tidak membiarkan air matanya menetes dan membasahi tanah yang  kami injak.

“aldo udah membuat vivi dan aku jatuh cinta mas, hingga akhirnya kami tidak mampu lagi berbagi. Bahkan hingga akhirnya aku memutuskan untuk memilih pergi dan menjauh dari mereka. Aku gak mau kehilangan sahabat sebaik vivi. Tapi aku udah terlalu sakit dengan aldo”

Seolah membaca suasana aku pun menyimpulkan bahwa mereka terlibat cinta segitiga. Dimana diantara mereka tidak ada yang mau kehilangan.. walau dalam benakku masih penasaran bagaimana aldo ini.

“sudah dek, kamu gak pantes nangis loh ya. Kasian nanti parkiran ini bakal banjir loh gara-gara ada air mata yang jatuh deras.. bagaimana aku begitu tega melihat kamu menangis, nanti tukang parkir mendadak menghakimi aku dan melaporkan aku ke polisi, dikira nanti aku mukulin bidadari diparkiran.. hehe” ujar ku bermaksut menghibur puspa agar tidak sedih

“ ah mas bisa aja ah ngeledeknya.. udah ah udah ah pulang… dari pada aku senyum senyum sendiri di gombalin sama mas agus” sahut puspa dengan senyum manisnya.

Akhirnya kami pun melaju motor kami meninggalkan parkiran kedai itu.
Sesampainya dikostn, handphone bordering dan ada pesan dari puspa

“makasih ya mas udah mencoba menahan air mataku dengan gombalanmu yang garing diparkiran, kamu cepet istirahat mas!! Besok minggu pagi ketemu di pantai losari ya kita jogging… mau kan?”

Belum sampai ku buka pintu kamar kostn aku mendadak kesurupan jingkrak jingkrak begitu senang dan tidak percaya bahwa besok pagi harus bangun lebih pagi untuk melihat senyum manis puspa. 

Langsung ku balas pesan itu..

“ok, see you…. :) selamat malam jangan lupa nyalain alarm… :)”

Begitu singkat dan langsung membuatku nyenyak tidur malam ini. 

Sabtu, 07 Maret 2015

Kopi Hitam Yang berjarak

kopi hitam gais
Setelah menempuh jarak berjam-jam melewati kota demi kota untuk melakukan pekerjaan, saya pun singgah di sebuah kedai kopi yang cukup unik di salah satu daerah bernama kota PALOPO, kedai tersebut sangat unik dan cukup nyaman untuk dijadikan persinggahan.

Secangkir kopi hitam ku pesan untuk mengobati rasa kantuk yang luar biasa disepanjang perjalanan. melihat-lihat sekitar suasana kedai kopi bertema serba putih itu aku mulai memainkan handpone dan fitur kamera nya. iseng memotret sana-sini dapet hasil jepretan yang cukup memiliki arti dan layak ku tulis dan ku publish dalam blog ini.

walaupun minggu ini beberapa cerita bersambung di blog ini belum aku rampungkan namun mungkin prosa tentang kopi hitam ini akan mengganti cerita minggu ini.

secangkir kopi hitam dalam gelas berbalur warna putih tulang itu membuat aksen tegas, seolah mengerti akan perasaan ini yang selalu berkecambuk setiap jeda waktu yang selalu mengganggu dalam perjalanan ku menuju kota demi kota. kamu yang merupakan masalalu itu, sebuah deretan kenangan romantis serta dramatis. bagaimana begitu mustahilnya diriku untuk tidak menyimpan memori kenangan itu dalam bagian otakku.

aku salah menyimpan dan aku lupa membuang kuncinya jauh agar tidak terbuka. kunci kotak kecil kenangan itu masih menempel jelas dan sewaktu-waktu terbuka ketika aku terlamun dan terbawa masalalu. aku memang mulai menyibukkan diri dan tidak memberi space  kosong untuk memikirkan dan membiarkan kotak itu terbuka. tapi perjalanan ini kurasakan lamunan yang membuka kotak itu.

kopi hitam ini begitu orisinil dengan rasa khas nya, mengingatmu begitu tak berbeda jauh dengan rasa orisinil kopi ini. kutambahkan gula dan kuaduk, setiap adukan demi adukan searah jarum jam ini seolah aku harus memaksa otak ini bekerja keras mengingat senyuman manis mu yang bahkan lebih manis dari pada gula.

kulihat sekitar, namun kini tidak seperti dulu. hanya beberapa rekan kerja yang sedang asik rehat dengan rokok mereka masing-masing. mendadak asap rokok itu menyekik leher ku menyadarkanku untuk kembali dari lamunanku. sudah terlalu lama aku mengaduk ternyata. ku nikmati kopi hitam ini, manisnya begitu pas, se-pas aku menikmati kamu seolah kamu sedang disisi ku menemaniku.

Namun, kutaruh cangkir itu kembali keatas meja dan tak kulihat cangkir yang sama disamping gelasku seperti setiap kali aku menikmati kebersamaan disela sibuknya tugas akhir kita dulu. 2 cangkir kopi panas cukup menahan kita dalam kedai dekat kampus sembari membahas tugas akhir mu yang begitu kacau penulisan dan ejaannya. senyum dan candamu menggodaku. membuat kita saling mengisi dan berdiskusi tentang tugas akhir itu.

Kini tidak kulihat lagi cangkir mu disamping cangkirku.
Jarak cangkir kopi kita kini sudah berjauhan bahkan tak bisa lagi kulihat dan kuingat jarak sesungguhnya diantara kita.
Dulu cangkirku dan cangkirmu begitu dekat dan tak berjarak.
Kamu dulu begitu tau diri ku bahkan yang menambahkan gula ke kopi ku adalah kamu.
Begitu manis sesuai dengan keinginanku, semakin manis dengan senyuman hangatmu itu.
Begitu lama aku tidak memesan kopi, yang aku tau kamu lah yang memesannya untuk ku.
Kini aku harus menikmati kopi dengan rasa yang berbeda, dan manisnya tak semanis kopi yang kamu pesan dulu untuk ku.

Kopi sekang cukup pahit, sepahit aku mengenangmu disetiap lamunanku.
Tapi begitu romantisnya tuhan menyelipkan setiap kenangan dipikiranku tentang kamu, seolah aku tidak harus membuangnya. aku cukup merasakan sedikit saja dan secukupnya saja, agar aku mampu menghadapi dunia lebih manis dari pada aku harus mengeluh bahwa kopi ini pahit tanpa gula.


seadainya aku dipertemukan dengan kamu kembali maka...
aku akan memesan kopi yang lain dengan tambahan susu......
setidaknya aku mencoba mengisyaratkan kamu tentang masalalu sudah kulewati...
dan kini harus sadar, bahwa susu ini menambah rasa kopi ku.....