Lanjutan.....
Perlahan
langkah kaki beralas sandal jepit ini sudah mendekati dermaga. Dermaga
kayu dekat puskesmas yang sudah menjadi tempat janjiku malam ini dengan uty. Dari
kejauhan terlihat zul dan jay sibuk pengamatan dan pengambilan data, sehingga
aku pun tidak ingin mengganggu keseriusan mereka. Langkah kaki ini pun sampai
didepan puskesmas. Melihat kearah rumah dinas di puskesmas itu masih belum
terlihat uty menampakkan sosoknya. Sembari menunggu aku pun sedikit senam
senyum untuk menghilangkan rasa gugupku, maklum pertemuan kita tadi sore
membuat aku mendadak lupa cara senyum dan selalu terpikir tentang uty.
Tak lama
ku menunggu uty pun keluar dari rumah dinas itu. Dengan membawa 2 buah mug yang
sengaja ditutup atasnya untuk menjaga isinya tetap panas. Rambut ikal yang
terikat dan jaket merah muda yang menempel di badan wanita ini membuat
jantungku berdebar kencang. Masih ingat betul ketika kami 7 tahun lalu di café
mas ambon, uty mengenakan jaket merah muda dan rambut terikat seperti ini. iya sama, sama hal yang kurasakan dahulu, dahulu bukan sekarang lagi. namun kenapa tetap sama?.. Lagi-lagi uty mencoba masuk dan mengingatkan ku dengan kenangan yang tadi sore
baru saja berntakan dan perlahan aku bereskan.
“udah
lama disini ber?” pertanyaan pembuka malam ini dari uty
“sory agak lama soalnya
aku bikin kopi buat kita berdua”
dengan kedua tangan memegang mug yang tertutup
yang sedari tadi sudah aku lihat dari pintu rumah dinasnya.
pict ilustrasi by ebit |
“enggak
kok palingan baru 10 menit disini ty, wah makasih ya repot-repot banget, tapi
paslah ya ngopi di pinggir pantai malam gini.” jawabku dengan memasang muka yang santai
“yuk ber,
kita kedermaga yuk” dengan langkah kaki menuju arah dermaga.
Dermaga kayu kecil ini, yang sudah mulai kehilangan bagian
kayunya karena di dera ombak berkali-kali bahkan ribuan kali, seperti aku yang
sudah perlahan kehilangan rindu yang terpisah tanpa harus aku berani
mengungkapkan selamat berjumpa kembali
Akhirnya
kami duduk berdua diterangi lampu eletrik yang sudah dibawah uty dari rumah
dinas. Buliran ombak terlihat masih jelas ada di bawah kami. Air laut surut
memperlihatkan karang dan batu serta pasir putih yang tersinari lampu elektrik.
Kerinduan ku yang sudah lama surut kini mendadak pasang kembali. Jerman dan
Indonesia itu tidak dekat. Serta 7 tahun itu bukan waktu yang sebentar.
“kamu
masih inget ber kopi yang pertama kali
kita minum di café mas ambon? Akibat kita berlaga coba-coba kopi hitam biar
kayak orang dewasa.. tapi sesudah itu kita malah pesen segelas buat berdua
sebagai menu tambahan.”
Aku sangat ingat betul, bahkan kamu yang meracik berapa
sendok gula yang kamu tuang di cangkir kopi itu. Ya kopi hitam segelas berdua
itu kita habiskan setelah kita menghabiskan milkshake yang kita pesan
masing-masing. Bahkan kopi hitam pertama dan manis nya pas itu yang selalu
menemaniku untuk menebus rasa salah ku tak berucap selamat tinggal di bandara itu
kepada mu.
“iya
masih ingat ty, itu kan kamu yang selau meracik gulanya berapa sendok biar
pas.” Sahutku masih terlihat datar
“ini kopi
aku bikin sesuai dengan apa yang dulu kita rasakan, kopi hitam pertama kita
ber. 1 setengah sendok makan dalam 250 cc larutan kaffein”
“iya ty,
artinya 55 persen konsentrasi gula dalam kopi kan racikan berbasis kimia kita
dulu. Gak teralalu manis dan gak terlalu pait”
Cuman kamu yang bisa membuat 55 persen konsentrasi manis
tepat dalam larutan caffeine itu, kamu yang selalu berhasil bereksperimen
dengan larutan hitam ini
“kamu
memang selalu ingat ty, gak pernah lupa ya” lanjutku
“iya ber,
selama aku dijerman aku mengganti gula itu dengan susu. Aku sudah jarang sekali
minum kopi hitam sepeti itu ber. Cuman kali ini aku sengaja bikin berdua dengan
kamu kopi hitam kesukaan kamu dengan gula sesuai dengan resepku.”
Gaya becanda uty selalu membuat kau tertawan dan seolah ada
di 7 tahun lalu.
“aku juga
udah 2 tahun ini gak lagi konsumsi kopi hitam berlebihan ty, biasa juga aku
kalo ngafe paling cappuccino”
“sama
ber, di jerman juga aku lebih senang pesen cappuccino” sahut uty
Kita memang hampir sama dalam pemikiran, hingga kopi hitam
itu menjadi cappuccino menjadi alasan klasik diriku tidak bisa melupakannya.
Aku mengganti dengan cappuccino supaya aku segera bisa melupakanmu. Bertahun
tahun aku sukses, tapi kopi hitam buatanmu menggagalkanku untuk benar-benar
melupakanmu. Bahkan aku rindu sekali
dengan cappuccino dingin ku.
Cara uty
menyajikan kopi hitam ini bahkan bahasan nya ini mengisyaratkan bahwa
sebernarnya dia masih ada rasa kepadaku, bahkan dia mungkin terlalu menderita
menahan sesuatu dan menunggu Sesuatu yang dulu selalu diharapkannya keluar dari
mulut ku.
“kamu di
jerman kemarin gimana ty?” pertanyaanku kali ini mencoba mengalihkan agar
pembicaraan kita makin berkembang.
“aku
dijerman tinggal dirumah salah satu orang Surabaya yang sudah lama kuliah
disana dan sekarang juga jadi pengusaha disana, dia temannya pamanku yang ada dijakarta. Namanya pak santoso, yang istrinya juga kerja di kedubes Indonesia untuk jerman disana ber. Kuliah dijerman
itu betul-betul asyik dan nyaman, segala sesuatunya lengkap dan dekat membuat
aku gak bosan. Paling kalau aku kangen sama Indonesia aku pergi ke café ujung
jalan punya pak barata, orang bandung yang punya kedai kopi cukup rame disana.”
“kamu
kalo kesitu sendirian? Kamu gak ada teman disana?” sahutku begitu penasaran
“ada
teman kampus ber, cuman kan kadang kalau mereka libur mereka balik ke negaranya
ber, kan kalau aku sih gak balik paling ya jalan aja sendiri ber”
“emang
kamu gak ada pacar atau soulmate kah disana?” tanyaku mulai agak serius
“gak ada
ber, kan soulmate ku waktu itu di bogor kuliah” jawabnya sembari senyum
Dia
selalu tidak berubah, bahkan ketika disana pun dia belum bisa menemukan sahabat
sedekat ku. Mungkin lebih dari sahabat.
Jerman
tidak berhasil mengubah sikapnya kepadaku. Bahkan 7 tahun lamanya negeri 4
musim itu masih menyisakan tropis di hati itu. Ya tropis yang hangat itu adalah
kedekatan sahabat yang sudah menjadi soulmate hanya kurun waktu bersama satu
tahun.
Pembicaraan
pun menjadi terlalu serius bagi kami di pulau beratap bintang dan berpayung
purnama itu.
Selama di
Jerman memang uty beberapa kali menelpon ke Indonesia, salah satu nomor yang di
tuju adalah no handphone ku, namun sempat sekali terangkat oleh ku ketika aku
sedang berada di kereta ekonomi yang penuh sesak sore itu, sehingga aku tak
bisa mendengar jelas suara dari nomor telpon tanpa nama itu. Dan itu juga
terakhir kali aku memegang handphone ku yang sudah ku punya dari kelas satu
SMA. Selebihnya handphone lama ku itu berpindah tangan hingga tak tau tangan
siapa yang sudah meraih handphoneku.
Semenjak
handphone ku raib dikereta sore itu aku pun tidak punya handphone selama
beberapa bulan, bahkan untuk membeli handphone pun aku tidak berani meminta uang
kepada orang tuaku yang saat itu usaha fotocopynya sedang bangkrut. Hanya
tersisi tabungan untuk pulang ketika lebaran yang waktu itu semakin dekat.
Jerman
memang negara yang tidak pernah uty duga bahwa dia akan kesana. Padahal
mimpinya menjadi seorang peneliti di laboratorium tidak dapat dia capai. Gelar
dokter keluarga memang sudah dia pegang sekarang. Namun wawasan dan cita-cita
nya yang ingin bekerja di laboratorium
telah dititipkan kepada ku, bagaimana tidak sewaktu test Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru Seluruh Indonesia (SPMB) waktu itu yang mengisi berkas dan
formulir adalah uty, bahkan terkadang dia harus kerumah ku untuk hanya sekedar
menjemputku dan membereskan berkas formulir SPMBku.
Jurusan KIMIA adalah prioritas pertama dan kedua
di formulirku, Universitas Indonesia dan Institu Pertanian Bogor berderet nama
universitas yang di pilihkan uty untuk ku diberkas SPMBku. Ketika Test masuk
yang waktu itu, uty yang menjemputku pagi-pagi bahkan yang membangunkanku. Begitu
baiknya uty kepadaku yang memang tak kusadari aku bukan hanya sekedar sahabat
yang dititipkan mimpinya.
Jumpa Malam Minggu Selanjutnya Gais.....
Jumpa Malam Minggu Selanjutnya Gais.....