Cerita lanjutan kopi di ujung utara.....
Tepat
didepan kelas ipa 1 sore itu hanya kami berdua di kelas tertua di
sekolah ini.
Rasa sedih
itu tiba-tiba mendera kami. Berdua dalam kursi beton merah itu. Tiba-tiba mulut
kita terkunci. Aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan aku harus membohongi rasa
kehilanganku itu. Sedangku kurasa uty sedang membutuhkan ungkapan rasa sayangku
untuknya. kami sama-sama menjadi orang yang tidak pernah jujur dalam hidup kami. kami membohongi diri kami masing-masing, yang tersisa hanyalah sebuah diam tanpa penyelesaian
Disitu mungkin uty kecewa terhadapku, bahkan ketika dia mau berangkat ke jerman, aku begitu tega tidak mengantarnya bahkan sekedar membalas pesan singkatnya aku tak berani. aku terlalu takut kehilangan.
padahal beberapa minggu lalu aku sudah janji untuk mengantarkan dia di bandara sebelum keberangkatannya, bahkan aku lupa memberikan sarung tangan yang sudah aku beli untuknya. tapi hal itu hanya menjadi wacana yang begitu besar hingga tiba-tiba aku harus terdiam dan tak merespon pesan singkatnya sehari sebelum dia berangkat.
Menjauh, kau akan
menjauh
Menjauh begitu
jauh dari tempat kita saat ini
Menjauh, bahkan
atap bintang kita terlihat sama namun berbeda
Ketika ku menutup
mataku, aku tak lagi melihat senyummu
“ber,
besok aku berangkat ke jerman… kamu jaga baik-baik dirimu di bogor ya. Jangan
lupa belajar kimianya lebih rajin. Jangan suka bolos lagi, nanti gak ada aku
kamu bolos seenaknya lagi. Hehehehe. Nomorku gak bakal aktif disana, nanti kalo
sempat aku email kamu. Kamu masih ingatkan email yang aku buatin buat kamu?
Jangan di hapus ya”
Pesan
singkat itu memang pesan singkat terakhir sebelum aku beralih kebogor dan melihat uty hilang pindah benua. begitu sedih kurasa, begitu
dalam. Aku kehilangan dia. Bahkan kaki ku ini lemas dan tak bisa menahan mu
utuk bertemu. Tapi aku terlalu takut. Aku hanya larut menyaksikan dan membaca
pesan singkat itu. Hingga akhirnya aku tidak akan berani mengunjungi
tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Termaksut café di kota Surabaya itu,
yang pasti kamu tidak akan bisa menuangkan gula sesuai dengan seleraku dalam
kopi ku, begitupun aku terperangkap dalam ruang sahabat yang tidak pernah peka
terhadap rasa perhatianmu.
Kini
pesawat terbang jenis boeing itu membawa mu pergi, bahkan aku tidak berani
masuk diruang tunggu ketika melihatmu menengok kanan-kiri mencari seseorang dan
aku rasa itu adalah aku. Hingga panggilan boarding terdengar di pengeras suara
Bandar udara juanda. Aku hanya sembunyi di himpitan mobil yang terparkir
didepan pintu keberangkatan. Hingga akhirnya kamu sudah terbang jauh dibelahan
benua biru disana.
Semua
kenangan bersama uty rapi sekali aku simpan di lemari osis sebelum aku
berangkat ke bogor untuk melanjutkan mimpi ku. Mimpi yang kau ajarkan, mimpi
dengan kimia yang dengan sabar kau ajarkan melebihi guru tua berkumis yang
super galak di kelas 12 itu.
Sudah
berjalan 7 tahun kita berpisah. Begitu rapinya aku menyimpan semua tentang kita
di bangunan tua yang kabar terakhir sudah dirobohkan dan dipugar. Tapi hanya
tersisa mimpi ini yang masih aku bawa dan membawaku hijrah dari Jakarta menuju
Makassar. Sekarang kita bertemu dalam pulau yang kecil ini yang tidak pernah
kita duga.
Kami
masih terdiam di tepi pantai, di atas dermaga tua yang sudah mulai kehilangan
kayu-kayunya akibat tergerus ombak.
“kamu…
uty…” aku mencoba membiasa tapi dekub jantung ini begitu cepat, nafasku pun
mulai tak beraturan mencoba tenang aku tidak bisa. Rasa kaget dan rindu itu
muncul bersamaan. Sudah aku buang kunci kota rinduku terhadapmu jauh, kenapa
mesti kamu sengaja mendobraknya dan membongkarnya. Bukan salah mu itu salah ku.
“iya…
bery…” kamu terlihat kehilangan pola nafas yang mulai bernatakan. Kamu pasti
merasakan hal yang sama.
Kami
kembali terdiam beberapa detik tanpa ada kehilangan tatap mata itu.
“kamu apa
kabar?” uty mencoba memulai pembicaraan
sedangkan
aku hanya sibuk merapikan nafasku
“Alhamdulillah
baik, kamu apa kabar? Kapan pulang dari jerman?” lanjutku
“aku
pulang 3 bulan lalu ber, eh kamu kok kurusan sih sekarang?” lanjut uty dengan
wajah yang masih membiasakan diri kepadaku
“ hahaha,
kamu ngeledek ih sukanya. Wah kok gak bilang kalau pulang sih?” lanjutku dengan
mulai terbiasa melihat paras cantiknya yang sudah semakin putih karena musim di
eropa.
“heheh
sengaja gak bilang.. hehehe” candanya seolah menutupi rasa gugupnya
Semenjak
email yang sudah dibuatkan uty waktu dulu aku lupa password nya, aku pun sudah
hampir melupakannya.
Bagaimana
mengasih kabar kedatangannya, sedang kan kita tidak punya kontak untuk saling
memberi salam.
Uty
memang terlihat sangat berbeda dengan waktu 7 tahun lalu. Paras nya yang
semakin cantik dan kulitnya yang sudah menjadi terang, aku sangat yakin tidak
mungkin dia masih menunggu ku yang sudah hampir 7 tahun tanpa kabar. Begitupun
aku yang sudah mempunyai kehidupan sendiri dan dekat dengan puspa.
Jika sekarang ini kesempatan terakhir ku untuk membuat itu
menjadi benar
Kita berdiri, dan bisa melihat cahaya itu
Jika aku ingin mengatakan apa yang tidak bisa aku katakana
Aku membuka hati menunjukkan semua dan belum membiarkan itu
terlalu dalam
Jika aku membuka hati aku akan berbicara tentang hati ku dan
berbicara rasaku padamu
Tapi sudah terlalu lama kita tak berdiri bersama seperti
dulu berjalan seiring sampai akhirnya aku memahami
Disini saya sudah jauh, jauh dengan bintang yang berbeda
Sekarang
mungkin hanya penyesalan yang aku ratapi. Kenangan ku bersama uty yang hanya
sebatas sahabat dekat yang saling menunggu untuk satu orang mengungkapkan kata
“sayang”. Perjumpaan di pintu masuk check in juanda menjadi kenangan yang harus
tertutup seiring dengan panggilan boarding pesawat yang membawanya ke belahan
bumi yang berbeda.
“eh 2
bulan lalu sebelum aku ditugasin disini aku masih sempet muter-muter Surabaya
loh…” lanjut obrolan uty seolah membuka kenangan itu.
“ah yang
bener? Kemana aja? Ketemu siapa aja?” lanjut pertanyaan bertubi-tubiku
kepadanya.
“sendirian
aku muter, kebetulan mobil papa nganggur jadi aku pakai muter-muter, aku juga
beberapa kali ke café mas ambon loh, kamu masih inget gak?” jawaban uty seolah
memaksaku untuk rindu kepadanya
“heheh,
iya masih inget kok” jawabku kaku dan tak ingin pembicaraan itu berlanjut
Café mas
ambon adalah tempat pertama kali kita ngopi dan makan setelah menyaksikan film
dibioskop, café yang selalu menjadikan minggu siang kami berbunga, walaupun
hanya sekedar milkshake dan kentang goreng, kami bisa larut dalam ratusan
bahasan tanpa menyadari waktu sudah semakin sore.
sudah sore... lanjut minggu depan ya... :) :) ;)
good job mas agus! keep goin' on! :D
BalasHapusAhh..elu sob
BalasHapusAhh..elu sob
BalasHapus@natali... siap nath... stok foto kalo jalan jalan ya,, heheheh
BalasHapus@hbb.... gue mah apa atuh...