Selasa, 05 Mei 2015

Kopi dan Mimpi Darimu


Cerita lanjutan kopi di ujung utara.....

Tepat didepan kelas ipa 1 sore itu hanya kami berdua di kelas tertua di sekolah ini.
Rasa sedih itu tiba-tiba mendera kami. Berdua dalam kursi beton merah itu. Tiba-tiba mulut kita terkunci. Aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan aku harus membohongi rasa kehilanganku itu. Sedangku kurasa uty sedang membutuhkan ungkapan rasa sayangku untuknya. kami sama-sama menjadi orang yang tidak pernah jujur dalam hidup kami. kami membohongi diri kami masing-masing, yang tersisa hanyalah sebuah diam tanpa penyelesaian

Disitu mungkin uty kecewa terhadapku, bahkan ketika dia mau berangkat ke jerman, aku begitu tega tidak mengantarnya bahkan sekedar membalas pesan singkatnya aku tak berani. aku terlalu takut kehilangan. 

padahal beberapa minggu lalu aku sudah janji untuk mengantarkan dia di bandara sebelum keberangkatannya, bahkan aku lupa memberikan sarung tangan yang sudah aku beli untuknya. tapi hal itu hanya menjadi wacana yang begitu besar hingga tiba-tiba aku harus terdiam dan tak merespon pesan singkatnya sehari sebelum dia berangkat. 

Menjauh, kau akan menjauh
Menjauh begitu jauh dari tempat kita saat ini
Menjauh, bahkan atap bintang kita terlihat sama namun berbeda
Ketika ku menutup mataku, aku tak lagi melihat senyummu



“ber, besok aku berangkat ke jerman… kamu jaga baik-baik dirimu di bogor ya. Jangan lupa belajar kimianya lebih rajin. Jangan suka bolos lagi, nanti gak ada aku kamu bolos seenaknya lagi. Hehehehe. Nomorku gak bakal aktif disana, nanti kalo sempat aku email kamu. Kamu masih ingatkan email yang aku buatin buat kamu? Jangan di hapus ya”

Pesan singkat itu memang pesan singkat terakhir sebelum aku beralih kebogor dan melihat uty hilang pindah benua. begitu sedih kurasa, begitu dalam. Aku kehilangan dia. Bahkan kaki ku ini lemas dan tak bisa menahan mu utuk bertemu. Tapi aku terlalu takut. Aku hanya larut menyaksikan dan membaca pesan singkat itu. Hingga akhirnya aku tidak akan berani mengunjungi tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Termaksut café di kota Surabaya itu, yang pasti kamu tidak akan bisa menuangkan gula sesuai dengan seleraku dalam kopi ku, begitupun aku terperangkap dalam ruang sahabat yang tidak pernah peka terhadap rasa perhatianmu.

Kini pesawat terbang jenis boeing itu membawa mu pergi, bahkan aku tidak berani masuk diruang tunggu ketika melihatmu menengok kanan-kiri mencari seseorang dan aku rasa itu adalah aku. Hingga panggilan boarding terdengar di pengeras suara Bandar udara juanda. Aku hanya sembunyi di himpitan mobil yang terparkir didepan pintu keberangkatan. Hingga akhirnya kamu sudah terbang jauh dibelahan benua biru disana.

Semua kenangan bersama uty rapi sekali aku simpan di lemari osis sebelum aku berangkat ke bogor untuk melanjutkan mimpi ku. Mimpi yang kau ajarkan, mimpi dengan kimia yang dengan sabar kau ajarkan melebihi guru tua berkumis yang super galak di kelas 12 itu.

Sudah berjalan 7 tahun kita berpisah. Begitu rapinya aku menyimpan semua tentang kita di bangunan tua yang kabar terakhir sudah dirobohkan dan dipugar. Tapi hanya tersisa mimpi ini yang masih aku bawa dan membawaku hijrah dari Jakarta menuju Makassar. Sekarang kita bertemu dalam pulau yang kecil ini yang tidak pernah kita duga.

Kami masih terdiam di tepi pantai, di atas dermaga tua yang sudah mulai kehilangan kayu-kayunya akibat tergerus ombak.

“kamu… uty…” aku mencoba membiasa tapi dekub jantung ini begitu cepat, nafasku pun mulai tak beraturan mencoba tenang aku tidak bisa. Rasa kaget dan rindu itu muncul bersamaan. Sudah aku buang kunci kota rinduku terhadapmu jauh, kenapa mesti kamu sengaja mendobraknya dan membongkarnya. Bukan salah mu itu salah ku.

“iya… bery…” kamu terlihat kehilangan pola nafas yang mulai bernatakan. Kamu pasti merasakan hal yang sama.

Kami kembali terdiam beberapa detik tanpa ada kehilangan tatap mata itu.

“kamu apa kabar?” uty mencoba memulai pembicaraan

sedangkan aku hanya sibuk merapikan nafasku

“Alhamdulillah baik, kamu apa kabar? Kapan pulang dari jerman?” lanjutku

“aku pulang 3 bulan lalu ber, eh kamu kok kurusan sih sekarang?” lanjut uty dengan wajah yang masih membiasakan diri kepadaku

“ hahaha, kamu ngeledek ih sukanya. Wah kok gak bilang kalau pulang sih?” lanjutku dengan mulai terbiasa melihat paras cantiknya yang sudah semakin putih karena musim di eropa.

“heheh sengaja gak bilang.. hehehe” candanya seolah menutupi rasa gugupnya

Semenjak email yang sudah dibuatkan uty waktu dulu aku lupa password nya, aku pun sudah hampir melupakannya.

Bagaimana mengasih kabar kedatangannya, sedang kan kita tidak punya kontak untuk saling memberi salam.

Uty memang terlihat sangat berbeda dengan waktu 7 tahun lalu. Paras nya yang semakin cantik dan kulitnya yang sudah menjadi terang, aku sangat yakin tidak mungkin dia masih menunggu ku yang sudah hampir 7 tahun tanpa kabar. Begitupun aku yang sudah mempunyai kehidupan sendiri dan dekat dengan puspa.

Jika sekarang ini kesempatan terakhir ku untuk membuat itu menjadi benar
Kita berdiri, dan bisa melihat cahaya itu
Jika aku ingin mengatakan apa yang tidak bisa aku katakana
Aku membuka hati menunjukkan semua dan belum membiarkan itu terlalu dalam
Jika aku membuka hati aku akan berbicara tentang hati ku dan berbicara rasaku padamu
Tapi sudah terlalu lama kita tak berdiri bersama seperti dulu berjalan seiring sampai akhirnya aku memahami
Disini saya sudah jauh, jauh dengan bintang yang berbeda

Sekarang mungkin hanya penyesalan yang aku ratapi. Kenangan ku bersama uty yang hanya sebatas sahabat dekat yang saling menunggu untuk satu orang mengungkapkan kata “sayang”. Perjumpaan di pintu masuk check in juanda menjadi kenangan yang harus tertutup seiring dengan panggilan boarding pesawat yang membawanya ke belahan bumi yang berbeda.

“eh 2 bulan lalu sebelum aku ditugasin disini aku masih sempet muter-muter Surabaya loh…” lanjut obrolan uty seolah membuka kenangan itu.

“ah yang bener? Kemana aja? Ketemu siapa aja?” lanjut pertanyaan bertubi-tubiku kepadanya.
“sendirian aku muter, kebetulan mobil papa nganggur jadi aku pakai muter-muter, aku juga beberapa kali ke café mas ambon loh, kamu masih inget gak?” jawaban uty seolah memaksaku untuk rindu kepadanya

“heheh, iya masih inget kok” jawabku kaku dan tak ingin pembicaraan itu berlanjut


Café mas ambon adalah tempat pertama kali kita ngopi dan makan setelah menyaksikan film dibioskop, café yang selalu menjadikan minggu siang kami berbunga, walaupun hanya sekedar milkshake dan kentang goreng, kami bisa larut dalam ratusan bahasan tanpa menyadari waktu sudah semakin sore. 

sudah sore... lanjut minggu depan ya... :) :) ;)

4 komentar: