Sabtu, 16 Mei 2015

Buku Kimia Halaman 67


Lanjutan ....

Café itu membuat dan merancang banyak kenangan diantara kita.  Bahkan aku masih ingat pesan dia kepadaku setelah kelulusan kita.

Kamu jangan membenci kimia karena guru nya, Kimia itu mengajarkan kita akan proses dan sabar dalam setiap reaksinya. Kimia juga mengajarkan segala sesuatu itu ada kandungan dan konsentrasinya bermacam-macam. sehingga sesuatu masalah pasti ada kandungan berbeda dan penyelesaiannya pun bermacam-macam. Pokoknya kamu harus suka sama kimia deh.

Memang dengan kimia aku bisa mengenal uty. Dengan kimia, uty mencoba dan berhasil membuat reaksi kompleks dalam hati ini. Segala rasa yang eksak dan lebih indah dari warna jingga atau merah muda. Uty berhasil membuatku mencintai kimia dengan baik dan begitu pun mengerti akan dirinya.

Walaupun akhirnya uty kuliah di jerman dan bukan mengambil kimia. Dia selalu tidak lupa akan isi halam 67 di diktat kimia karangan penerbit lokal tentang rekasi oksidasi dan reduksi. 

Reaksi redoks adalah suatu reaksi dimana, reaksi tersebut akan terjadi ketika suatu atom ada yang melepas dan ada yang menerima. bisa disebut juga serah terima elektron.

 
Sekarang pandangannya itu membuat aku semakin larut dan terjadi reaksi redoks. elektron-elektron kenangan bersama ketika duduk di bangku depan ruang kelas IPA 1 itu pun kembali bereaksi di setiap denyut dan nafas kami. 

Sore pun berubah menjadi gelap, awan merah menandakan indahnya sore akan berubah menjadi gelapnya malam. Malam ini cukup cerah, setidaknya ribuan bintang sudah mulai Nampak sesore ini. Aku akhirnya membereskan semua alat dan sampel ku untuk ku simpan dalam speedboat yang berlabuh tak jauh dari puskesmas.

“kalo malam biasa aku duduk minum kopi didermaga itu sama bu bidan ber, kali ini bu bidan lagi sibuk sama anak dan suaminya. Kalau kamu gak keberatan, yuk lihat purnama abis isyak di dermaga sana” ajak uty kepadaku.
 “ok, aku gak keberatan kok… aku malah seneng ty” perlahan bibir ini tersenyum kepadanya

Kami yang sudah mulai membiasakan diri seolah diantara kami tidak ada apa-apa sebelumnya, walaupun dalam hati kami masing-masing kami bergejolak karena kotak kenangan yang tertutup rapat itu sekarang mulai hancur berantakan dan isi nya terhambur. Membuat kita tidak bisa lagi merapikannya.

Apa dikata.. kotak sudah hancur sekarang yang kita butuhkan adalah sedikit demi sedikit mengumpulkannya agar tidak semakin tercecer dan hilang susah dicari.

Ajakan malam ini tentu merupakan obat rinduku padanya. Begitu pun uty aku yakin dia cukup kesepian di pulau sekecil ini. Uty memang tidak lama di pulau ini, hanya beberapa hari kedepan dia disini. Begitupun aku mungkin siang besok akan hanya jejak ku yang tertinggal disini.

Kami saling merindukan, jarak yang cukup jauh dan waktu yang lama membuat kita belum sempat menjilid dan menyelesaikan urusan hati yang terselubung dalam ikatan sahabat itu. Kini kita memiliki beberapa jam setidaknya untuk menata kembali serpihan kenangan yang sudah terpaksa berserakan karena kotak telah hancur.

Adzan magrib berkumandang, aku mulai bersiap-siap mandi dan segera menuju ke masjid kecil yang letaknya ditengah pulau. Pulau sekecil ini hanya punya 2 desa yang terpisah oleh bukit berbentuk kebun cengkeh dan memiliki satu masjid dengan dua kelompok penduduk yang memeluk 2  agama berbeda namun rukun satu sama lain. Magrib yang begitu tenang, beruntung listrik iuran warga desa sudah mulai bagus dan dioperasikan, listrik pun menyala mungkin hingga jam 10 malam nanti.

Seusai sholat magrib, aku dan pak desa kembali dari masjid menuju kerumahnya. Pak desa yang begitu ramah ini selalu mengajakku bercerita tentang desa ini, keadaan ini, Suasana ini dan setidaknya obrolan santai tentang hasil kebun cengkeh yang hasil nya melimpah ruah di pulau ini yang berhasil menghidupi mereka selama ini ketika hasil tangkapan ikan sudah mulai sedikit.

Sesampainya dirumah, aku pun diajak makan bersama dengan 7 anak pak desa beserta istri dan ibu dari pak desa. Beberapa ikan goreng yang digoreng kering tersedia di meja makan besar itu, sayur tumis dan beberapa mangkuk mie instan mendampinginya. Tak lupa beberapa piring berisi kue basah yang di buat tadi sore oleh istri pak desa menemani makan malam kita. Begitu nikmat kulihat suasana makan keluarga ini, 

sudah lama aku tidak merasakan makan bersama seperti ini. Bahkan kehidupanku setelah SMA merantau ke bogor serta di Jakarta membuat jarang sekali aku menikmati makan bersama dalam meja besar dengan keluargaku. Suasana ini sudah cukup mewakili rindu ku dengan kedua orang tuaku di kampung sana.


Suara adzan isyak mulai terdengar, beberapa anak pak desa membereskan meja dan berbagi tugas mencuci piring, sementara istri pak desa membuang sampah. Sedangkan aku dan pak desa bergantian wudlu dan segera menuju ke masjid. Sembari berjalan kaki dengan pak desa, aku selalu memandang kearah langit malam ini. Bulan purnama begitu terlihat sempurna dengan ribuan bintang tak jauh dari letak purnama itu. 

Seusai sholat isyak aku pun kembali kerumah pak desa untuk beganti baju. Kaos dan celana tiga perempat melekat dibadan tak lupa jaket yang juga melekat agar badan tidak kedinginan di dermaga nanti. Belum sempat keluar dari pintu rumah pak desa membekaliku dengan senter kecil untuk jaga-jaga apabila nanti pulang terlalu malam dan listrik mati.

Sembari jalan menyusuri desa menuju dermaga, terlihat para warga yang sudah mulai keluar dari rumahnya untuk membuat lingkaran kecil diskusi didepan rumah mereka. Senyum ramah dibalik cahaya lampu yang tak seterang di kota-kota besar menyambut dan tertuju kepadaku yang melangkah kan kaki melewati kumpulan orang-orang didesa itu. Beruntung mereka mengenalku sebagai tamu pak desa sehingga mereka terlihat begitu segan dan selalu menyapaku. Namun memang desa ini merupakan desa yang paling ramah dan terbuka terhadap orang baru walaupun dulunya pulau ini masuk dalam pertikaian antar agama di pertengahan tahun millennium.

Perlahan langkah sandal kaki beralas sandal jepit ini sudah mendekati dermaga. Dermaga kayu dekat puskesmas yang sudah menjadi tempat janjiku malam ini dengan uty. Dari kejauhan terlihat zul dan jay sibuk pengamatan dan pengambilan data, sehingga aku pun tidak ingin mengganggu keseriusan mereka. Langkah kaki ini pun sampai didepan puskesmas. 

Melihat kearah rumah dinas di puskesmas itu masih belum terlihat uty menampakkan sosoknya. Sembari menunggu aku pun sedikit senam senyum untuk menghilangkan rasa gugupku, maklum pertemuan kita tadi sore membuat aku mendadak lupa cara senyum dan selalu terpikir tentang uty.

Tak lama ku menunggu uty pun keluar dari rumah dinas itu. Dengan membawa 2 buah mug yang sengaja ditutup atasnya untuk menjaga isinya tetap panas. Rambut ikal yang terikat dan jaket merah muda yang menempel di badan wanita ini membuat jantungku berdebar kencang. Masih ingat betul ketika kami 7 tahun lalu di café mas ambon, uty mengenakan jaket merah muda dan rambut terikat seperti ini. Lagi-lagi uty mencoba masuk dan mengingatkan ku dengan kenangan yang tadi sore baru saja berntakan dan perlahan aku bereskan.

“udah lama disini ber?”
pertanyaan pembuka malam ini dari uty
 “sory agak lama soalnya aku bikin kopi buat kita berdua”
dengan kedua tangan memegang mug yang tertutup yang sedari tadi sudah aku lihat dari pintu rumah dinasnya. 



TUNGGU PURNAMA MINGGU DEPAN GAIS.... :)

2 komentar: