Sabtu, 22 Agustus 2015

SORE MANIS TANPA DRAMA



credit by : agus.ultramen
Sendiri itu tenang. 
Menikmati dan melihat begitu luas. 
Rindu tentang kamu sudah aku simpan dalam. 
Aku yakin suatu saat aku akan melupakannya. 
Jika senyummu adalah anugrah maka akan ikut ku simpan bersama rindu tadi. 

Seringkali menikmati dengan sendiri. Disebuah kedai kopi sore dengan alunan music live band ini nampak begitu pas. Menyaksikan tawa dan melihat senyum disetiap meja dengan musik yang mendayu-merayu kebersamaan di setiap sore itu. Jendela kaca yang hangat dengan sinar matahari sore yang menghangatkan. begitu menghangatkan, seperti rinduku yang selalu mendayu dalam hati. ketahuilah ketika aku membayangkanmu tersenyum, aku ingin membuatmu tersenyum kembali, bersamaku, lantas aku ikut merasakan senyummu, kemudian aku bahagia. 

Beberapa penulis selalu mencoba menceritakan sore yang begitu indah dan menginspirasi. Jika itu memang indah, aku akui itu benar adanya. Setiap sore memiliki sudut keindahan masing-masing. Layaknya pagi yang selalu menyugukan embun. Maka sore selalu menyugukan ekspresi untuk menutup hari karena malam akan segera menjelang. 



Lampu-lampu yang tergantung sudah mulai menyala sayu menerangi dan menjemput gelap. Aku tau kamu masih disana melangkah mengejar apa yang seharusnya kamu kejar entah itu cinta atau cita, yang jelas kamu harus tau bahwa tak ada yang salah jika kita sudah melangkah. Jikapun salah, tuhan sudah punya sesuatu spesial didepan langkah kita selanjutnya. jika menunggu adalah sebuah reaksi maka sabar adalah satuan pasti. memang menunggu adalah proses, yang terkadang menunggu adalah pejuangan. memperjuangkan orang yang selalu ada untuk bisa selalu menjaganya, jika cinta adalah perjuangan atau perlawanan lantas kenapa selalu saja orang yang kamu cintai terkadang tak mengharapkan kamu untuk disitu menunggu. sayu lampu itu menyambut gelap, awalnya tak berarti namun ketika mentari sudah terbenam di barat, lampu sayu yang awalnya tak ada yang mengartikannya, kini begitu berarti



Ini hanya masalah prasangka. Berbaik sangkah adalah hal yang selalu terbayang dan menjadi renungan disetiap sendiri. Berbicara lewat kata setidaknya membuat aku tau bahwa setiap langkah itu butuh coretan kecil untuk sekedar menjadi hal pengingat. Jika kita tau apa yang akan terjadi kedepan tentunya kita akan selalu di hadapkan dengan hal yang bersifat menunggu. Bahkan meraih mimpi saja butuh terbangun dari kegagalan untuk berlari mengejarnya. Ketika berlari pun kita yang tau kapan kita berhenti untuk sejenak mengambil nafas dan kembali berlari. Hal-hal tersebutlah secara verbal di artikan sedikit hiperbola dan itu adalah menunggu.

Kita tidak pernah di ciptakan untuk sekedar diam tanpa bergerak. Jika hidup adalah gerak, maka bergerak ke arah mu adalah salah satu langkahku. 


sore ini memandakan sudah enam tahun tanpa lebih sedetik pun, aku disini. bertaruh dengan waktu untuk mengejar dan mencermati lembar-demi lembar materi kehidupan menjadi perantau. Bogor. sudah enam tahun menapakkan kaki ini disini. bersama sahabat-sahabat yang baru saja menghengkangkan kaki nya dari rumah jelek yang penuh kenangan bahkan terkadang disinggahi kecoa ataupun tikus yang besarnya mirip kucing kampung. 

tawa dan canda mereka kini hilang, mereka memulai hidup baru mereka masing-masing. mereka sekarang lebih realistis. Kertas ajaib itu yang kita dapat dari lembar-lembar materi yang kita pelajari dan cermati setiap malam dengan pencahayaan yang redup di kota hujan ini membuat kami melangkah bermodal harapan baru. harapan untuk sukses di dunia baru ini. sore ini akan menjadikan aku penghuni terakhir di rumah sewa jelek ini. rumah yang berladang kecil yang terkadang kita manfaatkan untuk menanam cabe dan ilalang liar yang menjulang tinggi menutup pemandangan pemakaman yang tepat di sebelah ladang kami. 

suara adzan ashar yang berkumandang menutup tawa canda kami di rumah jelek ini. sore ini bogor begitu melankolis, para ambius penghuni rumah jelek bernama al-hikmah ini akan menyambut dunia dengan genggaman mimpi yang masih begitu panas membara terkepal ditangan seolah ingin dilepas. kami ber-lima orang al-hikma camp, turun temurun menghuni rumah jelek ini dan kami adalah generasi terakhir di rumah ini, karena sudah tidak ada lagi yang mau menghuni rumah ini yang letaknya tidak strategis melewati 45 anak tangga. oh ini bukan strategis ini hanya rumah yang tidak menerima penghuni manja. 

kami selalu dikecewakan dengan harapan, harapan akan cinta. cinta yang membuat kata kerja menunggu itu membuat setiap dari kami hampir terjatuh dan tersungkur begitu dalam hingga mau tidak mau satu sama lain saling menguatkan dan menghibur jika salah satu dari kami kecewa terkadang terlalu mendramatisir kekecewaan akan cinta itu. tapi satu hal yang selalu kami percaya bahwa harapan itu membuat kita kuat dan hidup hingga tertawa bersama menertawakan cinta yang selalu tidak pernah bersikap manis kepada kami penghuni al-hikmah. 

malam tadi kami berdiskusi kecil di ruang tamu dengan jendela terbuka dan beberapa kasur yang sudah kami atur sengaja untuk malam ini tidur bersama bercerita menutup perjuangan kami di kota hujan. 

kami hanya bercerita saja, mengevaluasi setiap awal dan perjalanan kami yang begitu indah. seperti biasa sarung busuk kami selalu menghiasi setiap diskusi dari malam kemalam jika memang ada yang harus didiskusikan. kita yang biasa berdebat masalah jumlah taguhan air dan listrik yang selalu menunggak, kini kami berdiskusi tenang dengan angin malam bogor waktu itu yang sangat dingin. ruangan kami begitu hangat degan diskusi kecil ini. menceritakan mimpi dan tujuan kedepan kami yang seolah nyata, benar-benar nyata seakan mimpi itu sudah ada didepan mata. 

kami semua laki-laki yang selalu tak bersahabat dengan senyuman cinta dari lawan jenis kami, selalu saja ada cara yang menyelamatkan kami dari kejelekan cinta itu.

pembicaraan kami pun sudah mulai random dengan ciri khas tawa canda yang mulai menggema di ruang tamu ini. kami tertawa lepas menertawakan setiap kisah kami. itu malam tadi yang sudah berlalu. pelukan hangat satu persatu dari kami membuka pagi kami. satu persatu saling tolong menolong mengantar dan berebut membawa barang bawaan nyang harus kami bawa ke tempat baru. ke terminal lanjut stasiun lanjut ke perempatan deket batas kota melangkah satu persatu hingga tak terlihat dengan janji akan bertemu kembali dan bercerita kisah masing-masing. 

pagi tadi aku masih bersama erfan yang sedang asik bersiap untuk kembali ke tanggerang dengan motor bebek yang tak termakan zaman. 

kemudian pertanyaan itu datang. 

"boy gimana indri? udah diselesaikan belum?"

pertanyaan erfan itu membuat sedikit drama itu bermain dalam pikiran.

"udah lah boy, nih minum kopi... "
belum sempat aku menjawab pertanyaan tadi erfan sudah menyeduhkan kopi terakhir persediaan terakhir dapur kami. semua mengetahui bahwa aku begitu menyukai kopi. karena kopi yang membuat kisahku dengan masalalu. kopi yang membuat deretan cerita yang selalu membuat mereka menertawakan. karena kami selalu tau cara menanyakan dan menertawakan cerita dengan cara kami sendiri.

sekarang aku masih termenung, memikirkan sebuah nama yang begitu lama membuat kisah ini terhenti dan aku tak mau melangkah jauh lagi, jauh meninggalkan dia. beberapa tahun lalu uty yang meninggalkan kisah persahabatan yang dibuahi oleh cinta telah pergi jauh. bukan karena kesepakatan satu pihak tapi ini tanpa kesepakan dengan mempertaruhkan mimpi kami masing-masing. sekarang indri yang bagaikan mimpiku sehingga aku tidak mau bangun dan aku inginkan dia dengan menunggu.

"udahlah boy, lo harus selesaikan ini boy. lo bentar lagi kan ke makassar, masa lo lagi-lagi pergi tanpa dan jauh tanpa kejelasan."

aku masih menikmati kopi hitam buatan erfan tadi sembari melihat dia yang sibuk menceramahi aku dengan kegiatan nya merapikan semua buku dan bajunya ke dalam tas carielnya.
cerita ku dan indri seakan koma, semenjak kelulusan ku beberapa hari lalu, kami kehilngan kontak saling diam bahkan tak tahu membuat titik dibagian mana.

besok adalah hari keberangkatanku ke makassar, kota ratauan baruku, sekaligus kota yang selalu di dambakan kami dalam acara ilmiah waktu tahun lalu yang tidak bisa kami hadiri. besok tanah bugis aku menjadi alas tidurku dan tempat memupuk mimpi ku.

aku masih belum bisa bertemu dengan indri. entah apapun itu halangannya, yang jelas selalu ada. namun aku setidaknya mulai sadar bahwa sesuatu yang ditunggu itu mebuat waktu kita berarti dan dengan menunggu kita menyelamatkan kita dari sesuatu yang sifatnya tergesa-gesa,

kopi ini sudah mulai kelihatan ampasnya. sudah beberapa menit aku memandangi erfan yang sibuk dengan cerielnya. aku masih belum tau hatus menunggu hingga berapa lama, kesannya aku memang sulit melangkah dari titik ini, terkadang aku membayangkan duduk didepanku dalam kedai tempat kita pertama bertemu kemudian bercerita, tangan yang sembari memegang cappoccino dingin dan bercerita begitu random tentang apapun, pandangan mata yang tertuju ke mata mu yang sedari tadi memperhatikan ceritaku, kemudian aku tersenyum walaupun gula cair manis itu masih belum kutumpahkan dalam bejana dingin caffein ini, melihat mu tersenyum. Tersenyum dan kemudian aku terseyum.

ini sudah sore, pelukan terakhir erfan dan serah terima kunci gandaan yang terakhir ini membuat sekarang aku tersenyum bahagia, bahkan pertanyaan erfan tadi masih belum aku jawab hingga hari sesore ini.

"semangat boy, ingen jangan menyerah dan jangan lupa tertawa" kemudian erfan pergi dengan motor bebeknya.

aku mulai masuk menata semua barang bawaan yang akan ku bawa ke makassar. memandangi setiap sudut ruangan yang sudah berjasa atas kami hingga saat ini. semua dinding itu kosong, lukisan-lukisan dan kaligrafi dipta teman sekamarku sudah tidak ada. tersisa papan tulis diskusi yang kami buat dari bekas selotip kegiatan kampus.

memandangi handphone kemudian aku ketik beberapa kalimat yang hendak aku kirim ke indri,

jika memang sore ini begitu dramatis, aku yakin kamu disana merasakan hal yang sama, setidaknya kita masih belum dalam belahan waktu yang berbeda, tapi alangkah baiknya jika aku berpamit kepadamu, aku menaruh semua harapan yang kamu berikan, aku titipkan dan bungkuss rapi harapan itu kepada pesan ini, memang pesan ini akan terhapus setidaknya aku berharap kenangan kita tidak akan terhapus walaupun sore akan segera berakhir dan malam selalu menjadi pengahapus sore. setidaknnya kita pernah dalam sore yang sama bercerita kemudian tersenyum. 

pesan itu akupun kirim ke indri, aku hanya berharap besok siang keberangkatan ku ke makassar masih bertemu dengan senyum nya dengan beberapa jawaban yang aku pertanyakan semenjak kelulusanku waktu itu..

bersambung......

Tunggu Minggu Depan ya Gais.... :)

Sabtu, 15 Agustus 2015

AKU BUKAN WANITA JALANG (2)


Dia mengajakku bertemu. Ini bagian yang paling aku benci. Aku tak mau orang yang aku sukai kabur hanya karena melihat fisikku. Aku sudah bilang, aku tak cantik, aku tak sexy. Aku bingung. Harus bagaimana aku menjelaskan. Mau tidak mau aku harus jujur. Jika tidak, dia akan jauh lebih kecewa. Ada dua resiko yang harus aku terima. Aku akan sendiri karena kekecewaannya, atau aku akan malu karena fisikku sendiri. Ya!! Aku harus tegas! Aku akan mengatakan saja ini padanya. Aku akan telpon dia malam ini juga.
***
Malam ini aku berias ke salon, kali ini aku tak ingin tampil dengan rambut palsu atau rok mini. Kali ini aku ingin tampil apa adanya aku. Aku pakai kaos oblong, celana press body, sneackers, kaca mata frame kotak, dan small bag Polo Sport. Aku menunggu dia di sudut taman di tengah kota Bung Tomo ini. Aku nervous. Aku takut.
‘Brung!! Brung!!’ suara motornya mengagetkan jantungku. Dia tampak gagah dengan motor berbody GeDe itu. Aku tahu itu harganya tak semurah motorku. Untung saja kali ini aku naik angkot, jadi aku tak malu ketahuan punya motor yang lebih murah.
Saat ia melepas helm nya, aku sudah jatuh cinta pada parfumnya. Aduhaiii segar sekali. Saat dia melepas jacket kulitnya, aku jatuh cinta pada bajunya. Aduhaiiii rapinya. Ia acak rambutnya dan ia pakai kacamata hitam, berjalan menuju ayunan yang aku duduki. Tampaknya ia sudah tahu aku dari facebookku.
“Hai, Riko ya?”
“Iya mas,” jawabku gugup dan gemetar. Bagaimana mungkin aku bisa kenal dia. Ganteng sekali.
“Sudah lama?”
“Iya, 30 menit.”
“Hahaha, maaf ya!”
“Iya, ndak papa, macet ya?”
“Ah biasa, ada meeting dulu tadi”
“Sudah makan?”
“Sudah , mas!”
“Hei, biasa saja, jangan tegang! Yahh kamu koq sudah makan sih”
“Mas belum?”
“Belum, tapi nggakpapa, ayo maen ke rumahku aja. Gak papa kan?”
“Ehmm..rumah mas dimana?”
“Dekat kok, nanti pulangnya aku antar.”
“ohhh i...i...iya.” aku gemetaran, aku tidak pernah diajak ke rumah cowok. Kali ini malah aku yang terlihat bodoh. Sejuta lelaki hanya dia yang buat aku nervous.
Kami lanjut perkenalan kami di rumahnya, hingga saat itu tiba.
***
Tak sekali aku melakukan hal itu dengan lelaki sejenisku. Aku bodoh yang menikmati itu sebagai pemenuhan kebutuhanku. Aku suka sekali gonta-ganti pasangan. Aku bodoh, dan aku tak tahu resiko apa yang akan aku terima. Kini aku sudah menanggung malu. Aku dapatkan akibat yang tak bisa terhapuskan. Aku tak tahu, lelaki mana yang telah menulari aku penyakit ini.
Kehidupanku sungguh sangat singkat setelah ini. Aku tidak boleh kelelahan. Aku tak boleh sedih. Aku harus sehat dan bahagia. Sedangkan aku bukan tipe orang yang mudah bahagia. Aku tipe orang yang gampang merenungi kesalahan. Ini mungkin sebuah karma.
Penyakit ini ku dapati sejak bulan Juli lalu. Saat seorang teman mengajakku test HIV AIDS. Aku adalah teman yang selalu menolak untuk ditest. Bukan karena aku takut atau tak mau, tapi karena jadwal sekolah dan ekstraku yang padat, membuat aku tak punya waktu untuk keluar bersama mereka. Saat tengah bulan Juli itu pengumuman hasil test kuterima.
Aku tak tahu angin apa yang merasuk ke rongga-rongga kepalaku. Saat aku dinyatakan posistif HIV, aku hanya terdiam. Aku tak bisa berfikir apapun. Bahkan aku tak menangis sedikitpun. Aku terdiam. Menunggu kesadaran ini menyusul kebodohanku.
Aku pulang dengan kelinglungan. Hasil ini ku simpan rapat-rapat di dalam tas kotak Polo Sportku. Aku tak tahu pada siapa aku mengeluh. Ini sebuah kebodohan tingkat dewa. Ini sebuah kecelakaan besar. Rasanya seperti menangung malu kehamilan diluar nikah. Aku malu semalu-malunya. Aku juga takut setakut-takutnya.
AIDS kan penyakit yang setahuku belum ada obatnya. Penyakit yang setahuku menggerogoti imunitas tubuh penderitanya. Penyakit yang akan membuatku semakin lemah dan lemah. Penyakit yang membuat aku terisolasi dari lingkunganku. Penyakit yang akan membuat ayah ibuku malu. Penyakit yang akan mengeluarkanku dari lingkungan rumahku. Penyakit yang...hhhh..aku menjijikkan, aku bodoh, aku menyesal.
Terima kasih Tuhan, terima kasih.
Inikah karma Mu?
Inikah hukuman Mu?
Aku akan mengatakan ini kepada ayah ibu dan semua keluargaku.
***
Kini aku benar-benar terisolasi dari lingkungan sekitarku. Banyak dari mereka yang belum sadar. Penyakitku ini tak mudah menular. Penyakitku ini tak seperti influenza yang dengan mudah menyerang. Tapi orang-orang sekitarku masih ada yang jijik terhadapku. Wajar saja, aku lelaki jalang. Aku mungkin sudah tak suci lagi. Aku mungkin dianggap durhaka dan laknat. Sedikit sekali yang menganggap aku wanita. Sedikit sekali yang membiarkanku jadi wanita. Mereka sudah terlanjur jijik padaku.
Ini yang aku takutkan dari hidupku. Ketika aku tak boleh berduka, ketika aku harus bahagia. Tapi lingkunganku tak pernah sedikitpun membantuku. Aku terdiskriminasi. Bagaimana aku bisa bahagia? Aku terisolasi. Bagaimana aku tak berduka?
Hidup dan matiku, aku yang menentukan, walau Tuhan punya andil besar. Cepat atau lambatnya, aku yang memperjuangkan. Aku harus berusaha bangkit. Aku harus berusaha bahagia, berbagi, dan memperkecil resiko kematian. Aku berikan hidupku hanya untuk berbagi pengetahuan. Aku berbagi cerita. Jangan sampai kebodohan ini terulang. Jangan sampai orang lain merasakan pahitnya cacian, pedasnya olokan, dan sakitnya ketakutan.
Hidupku untuk Mu, Tuhan!


E K


Minggu, 09 Agustus 2015

Bukan Wanita Jalang

beberapa waktu lalu team slowboy mendapat kiriman cerita dan ilustrasi foto dan seorang sahabat yang memberikan sebuah cerita unik dari sebuah penelitian observatif kecil yang dilakukan olehnya. dan sebagai apresiasi maka kami menampil kan dalam blog untuk cerita mingguan minggu ini. baca gaes
Aku Bukan Wanita Jalang
credit by : jio_reaper photograph
Oleh:
E K
Aku gadis berusia 17 tahun. Wajahku sederhana, kalem, dan lembut. Mungkin orang-orang tak menyebutku cantik, tapi manis. Ya itulah yang mereka katakan padaku. Rambutku mudah goyah sebahu. Tubuhku tak besar, kurus, dan sexy. Yang paling aku senangi adalah bagian betisku. Aku terlihat sexy dengan mini dressku dan highheels cokelat. Namaku Rika. Aku siswa SMK Pembangunan. Aku tidak suka sekolahku. Aku sudah malas sekolah. Capek! Lagian aku juga tak pernah nyambung dengan pelajaran-pelajaran itu. Otakku tak kuat kalau harus menghitung panjang dan lebar bangunan-bangunan khayal. Tapi, di sisi lain, aku suka ektrakurikulerku. Aku aktif ikut kegiatan di luar kelas. Menurutku hidup itu harus berkarya sesuai dengan keinginan kita. Manusia bisa kok hidup tanpa keformalan bangku sekolah. Tapi, bagaimana lagi, tuntutan zaman telah mengubah pola pikir zaman neolitikum menjadi sebuah zaman modern dengan penjualan ijazah. Untung saja sekolah ku sekolah Negeri. Jadi, sebodoh-bodohnya aku, aku tak membeli ijazah.

Ngomong soal ijazah, aku jadi ingat sertifikat baru yang aku punya. 
Hari ini akan aku pamerkan ke teman baruku. Kak Ratna, dia seorang Psikolog muda yang cantik dan sexy. Meski ia wanita berjilbab, tapi model bajunya tak kalah gaulnya dengan kita-kita. Hari ini hari Senin. Aku sudah ada janji untuk curhat dengan Kak Ratna di Rumah makan cepat saji dekat kampusnya. Kebetulan, kampus Kak Ratna dekat dengan sekolahku. Yaa mungkin jaraknya 1 Km.
Pulang sekolah adalah saat yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah tidak betah dengan angka-angka yang tak sopannya masuk secara paksa lewat telinga kananku. Saat pulang aku biasa membuang tumpukan angka-angka ini di sampah lewat telinga kiriku. Untuk menghilangkan penat ini, aku ikut ekstra PMR. Aku suka menolong orang, aku suka berbagi pengalaman, dan aku suka ikut kompetisi-kompetisinya. Alhamdulillah sertifikat yang aku maksud tadi adalah sertifikat juara umum dalam salah satu perlombaan extra PMR di kota Telo.

Akhir-akhir ini aku akan sibuk mondar-mandir kota bekas Kerajaan Majapahit. Aku akan berbagi cerita dan pengalaman hidupku. Aku memang bukan orang penting. Aku juga bukan anak pejabat yang mempunyai modal berbicara. Aku hanya anak-anak yang masih belia dan suka manja. Aku sama seperti mereka yang juga masih pakai seragam sekolah. Tapi aku beda. Sangat berbeda.

Mereka bilang aku gila. Iya!
Mereka bilang aku aneh. Iya!
Mereka bilang aku bencong. Tidak! Salah!
Aku wanita!
Meski aku belum tua, tapi aku yakin, aku lebih dewasa dari Kak Ratna.

Hidupku kini sunyi, dulu aku pecinta lelaki. Aku suka membuat mereka nyaman di dekatku. Tapi tak semua lelaki mau denganku. Mungkin hanya 30 persen di dunia ini yang mau dengan sesamanya. Secara fisik aku memang tak cantik. Tapi aku bisa membuat mereka tunduk di tanganku. Diantara teman-temanku, aku yang paling elegan, bermoral, dan setia. Aku tidak sombong, ini kebenaran. Kebenaran yang orang lain sama ratakan dengan kebohongan.

Aku baru di dunia ini, dunia yang sebenarnya sudah lama aku sadari. Aku juga tahu resiko-resiko masuk di dunia ini. Aku sadar, aku telah dewasa, aku harus berani menanggung resiko-resiko masuk ke era ini. Saat gadis-gadis tumbuh besar payudaranya, yang tumbuh besar di aku adalah jakunku. Saat gadis-gadis mulai masuk masa menstruasi, aku mimpi basah. Saat gadis-gadis mulai mengenakan BH, aku juga bisa pakai benda lucu dan imut itu. Ini kebenaran yang harus aku katakan pada siapapun itu. Hidupku tak sempurna mereka, aku tersesat di tubuh Riko. Tubuh yang dulu pernah aku banggakan kini aku sesali. Harusnya aku bisa keluar dari sini, tapi rasio tak bisa menyelesaikan masalah ini. Mungkin aku harus mengubah rasional menjadi tidak rasional.

Sejak umur lima tahun aku suka mengenakan rok, selendang, dan lipstick. Entah sudah bawaan kali. Kini aku memberanikan diri untuk menunjukkan jati diri. Hobiku sedikit berubah. Aku lebih suka keluar malam dengan baju mini dan sepatu hak tinggi. Aku mulai serius ingin mencintai lelaki. Sampai saat itu tiba.
***
Aku mulai merasa hari-hariku membosankan tanpa kekasih. Aku mengacak nomor yang ada di handphone untuk mencari teman. Acakan pertama, ku tekan nomor berdasarkan tanggal lahirku, tapi ahh...gagal, yang mengangkat bukan tipeku. Acakan kedua, nomor absensiku. Tapi gagal lagi. Itu juga bukan tipeku.

“Kali ini nggak boleh gagal!!” gumamku geram. Takut pulsaku keburu habis. Ku tekan nomor berdasarkan tanggal hari ini.

“08528042012”  Ku tekan tombol-tombol handphone pintarku. Eitss.. ada nada dering lagu Peterpan yang judulnya ‘Ku Katakan Dengan Indah’. Senang sekali mendengarnya, aku terbawa lagu ini. Aku menikmati setiap desah nafas Ariel, vocalisnya. Kebetulan sekali pemiliknya tak segera mengangkat telponku. Ku ulang lagi, dan lagi. Gerak tubuhku mengikuti suara drum Peterpan, tak sadar aku sedang menelpon.

“Hallo!” serontak suara Ariel berubah jadi suara berat lelaki. Aku kaget dan belum siap untuk menjawab. Suaranya menggetarkan jantungku.
“Hallo!” tegasnya lagi. Aku masih gugup dan tak tahu apa yang harus ku jawab.aku bingung harus ngomong apa?
“Hallo !!!” suaranya semakin keras dan semakin membuat aku takut. Dengan paksa aku jawab.
“Iya, hallo, Toni, kamu apa kabar?” celetukku tak terkontrol. Aku bingung mau ngomong apa.
“Toni? Maaf ini Tedy, bukan Toni. Anda salah sambung mbak!” lembut suara dan kesopanannya membuat hati ini makin bergetar dan salah tingkah. Aku ada ide untuk memperpanjang percakapan ini.
“Lho ini nomor yang Toni kasih ke aku kok!” padahal aku juga tak tahu Toni itu anak siapa. Hahahaha... aku ngawur aja sebut nama.
“Mbak, saya ini Tedy, saya sudah pakai nomor ini sejak enam tahun yang lalu.” Jelasnya sopan. Dia memanggilku ‘mbak’ pula. Sudah selembut itukah suaraku. Apa jakun ini sudah benar-benar lemas, hingga dia memanggilku ‘mbak’.
“Tapi mas, beneran Toni ngasih aku nomor ini.” Aku berusaha ngeyel untuk memperpanjang percakapan dan menarik simpatinya.
“Mbak, memang Toni siapa yang mbak maksud? Toni Sailendra kah? Atau Toni Hermawan?” dia menyebutkan nama orang yang satupun aku juga tak tahu siapa itu.
“Toni Ramadhan” jawabku ngawur.
“Siapa itu ya? Teman-temanku memang kadang usil, mbak! Tak jarang mereka ngasih nomor handphone saya ke wanita-wanita jalan.”
“Heh, tapi aku bukan wanita jalan ya!” aku marah, dan ku tutup telponnya. Siapa juga yang suka di sama-sama kan dengan wanita jalang.
Handphone ku berdering. Ku lihta nomor itu kembali menelponku. Aku tak menyangka dia akan menelpon kembali. Segera ku angkat telponnya.

“Hallo” jawabku marah.
“Mbak, saya minta maaf kalau kata-kata saya tadi menyinggung atau menyakiti.”
“Hm..OK!” jawabku sadis.
“Tapi ngomong-ngomong, Toni bilang apa sama mbak?” busyeet, aku kena batunya, aku harus jawab apa ini soal Toni. Tak mungkin aku bilang aku yang bohong. Atau dia akan mengatakan aku jalang juga.
“Sudahlah mas, ndak papa, saya juga malas ngomong soal Toni.” Aku ngeles.
“Oh gitu, ya sudah, maafkan teman saya yang jahil ya!” jawabnya sopan. Suaranya berat sekali. Sepertinya dia agak sedikit gendut atau cowok cool. Aku suka suaranya.

Perkenalan itu berlanjut sampai satu bulan. Kami nyaman dengan telpon dan SMS. Dia tidak tahu kalau aku berbeda dari gadis-gadis yang lain. Tapi aku juga tak tahu juga, apakah dia sadar suaraku sedikit berat dan berbeda dengan yang lain. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keisenganku dengan dia.
Cerita ini kemudian naik hingga saling curhat. Aku juga merasa dia nyaman dengan aku. Dia selalu perhatian denganku. Aku senang juga memperhatikan dia. Tak jarang aku mengingatkan dia untuk makan tepat waktu. Dia lelaki pekerja keras yang kerja di hotel bintang tiga. Dia bekerja di bagian manajer roomboys. Dia menunjukkan fotonya di Facebook. Ku lihat dia lelaki aktif dengan dikelilingi sejuta cowok-cowok ganteng. Badannya six packs, tinggi, putih, dan ganteng.


Dia mengajakku bertemu. Ini bagian yang paling aku benci. Aku tak mau orang yang aku sukai kabur hanya karena melihat fisikku. Aku sudah bilang, aku tak cantik, aku tak sexy. Aku bingung. Harus bagaimana aku menjelaskan. Mau tidak mau aku harus jujur. Jika tidak, dia akan jauh lebih kecewa. Ada dua resiko yang harus aku terima. Aku akan sendiri karena kekecewaannya, atau aku akan malu karena fisikku sendiri. Ya!! Aku harus tegas! Aku akan mengatakan saja ini padanya. Aku akan telpon dia malam ini juga.

yuk tunggu lanjutan ceritanya minggu depan gais....

Sabtu, 01 Agustus 2015

Agustus dan Pahitnya Espresso


Hhai agustus, 

assalamualaikum


be nice please…

Agustus datang, taraaaaa….

Beberapa waktu kini berlalu, antara kamu dan aku masih dalam belenggu, kenapa ini begitu lugu. Oh  bukan ini hanya dagelan lucu yang memang sudah menjadi masa lalu. Agustus, bulan purnama itu datang. Tepat diatas kepalaku, beribu bintang bertabur menghiasi agustus yang tidak lagi hujan. Sinar purnama itu menyembuhkan ku. Sejak kapan aku terluka? Bahkan bekas luka itu tidak terlihat, bekas benang fibrin yang menyulam luka itu juga tak ada.

Kamu masih disitu kah?

Aku tidak bisa melihatmu lagi, kita tidak lagi dalam labuhan yang sama. Purnamamu dan purnamaku sudah berbeda. Bintang dan mimpimu pun juga berbeda. Aku mencoba menceritakan disini. Semua itu berlalu. Harapan – kesedihan – luka – lara – bahkan tangis yang membasahi pipi manismu itu, sudah tak kulihat. Mereka lewat. Layaknya luka yang akan sembuh dengan sendirinya, atau hanya kesepakatan kita untuk membiarkan luka itu sembuh sendiri.

Tidak harus ada pertemuan?

Aku bahkan lupa kapan terakhir kali kita bertemu dalam satu bingkai yang sama, yang hanya aku ingat sekarang hanyalah secangkir kopi yang masih panas di depanku. Semua menjadi kenangan, bahkan beberapa orang mencoba untuk merapikan kenangannya. Sedangkan agustus ini tak mau kubuang lagi waktu ku. Hanya untuk menunggu.

Kamu pasti tau rasa manis itu gak selalu baik kan. Bahkan takaran yang tidak pas akan membuatmu sakit, bahkan ras manis itu akan menutupi rasa pahit dari kopi yang sudah kita nikmati. Lagi-lagi pahit sudah ku bilang tak selamanya tidak asik. Pait itu membuat kita tetap terjaga.

Kamu dimana? Masih kan kamu terjaga disana? Atau sudah lupa akan arti terjaga menjaga mimpi dan harapan kita agar tetap hidup.

Aku berjalan melewati orang lalu lalang satu demi satu terlewati. Aku menikmati kopi ini dalam sebuah kedai yang baru aku datangi. Disini tak begitu ramai dengan pasang mata, seperti kedai kita waktu itu. Disini hanya beberapa pasang mata saja yang sengaja menikmati malam purnama di awal agustus.

Masih ingat kah?

Ada yang dan ada yang pergi, gak tau pergi kemana, yang jelas menentukan pilihannya walaupun mereka gak punya pilihan. Semua akan berlalu, ada yang datang dan pergi, ada yang hadir adapun yang mulai hengkang. Akan ada yang melepas namun terkadang tidak harus menerimanya, bahkan menjadi logam mulia golongan 8 yang memiliki ikatan kovalen sempurna membuat mereka nyaman, nyaman sendiri bebas bahkan tak harus memilih. Layaknya sebuah pilihan itu adalah secangkir kopi yang ada berdekatan dengan gula, tinggal kita yang mimilih menambahkan gula itu seberapa, atau kita tinggalkan gula itu karena terlalu banyak kita nikmati janji manis? Yang jelas janji manis tidak akan bereaksi dengan metabolism dalam darahmu, namun itu akan membuat kacau kinerja aliran darahmu.

Espresso ini sangat pas untuk malam ini, dengan beberapa bolpoint dan pocket bookku dibawah purnama. Aku sudah cukup lelah menghadapi jalan yang berparikel dengan gas-gas rumah kaca bertebaran melambung serta melayang-layang di hadapanku, sehingga mata ini mulai teriritasi.

Musollah kecil dan air wudhu di kedai ini sedikit mengobati keresahan dari jalan yang padat kulalui tadi. Duduk di meja dengan kursi yang cukup unik di kedai ini dan diiringi oleh beberapa lagu dari alunan soundsytem yang menggantung di sudut-sudut ruangan sedikit memberikan inspirasi dan membantu melepas penat yang sudah memuncak.

Agustus ini memang begitu special, karena dengan kesendirian ini membantuku lebih menikmati agustus tanpa harus bertele-tele dengan harapan dan menunggu hal yang tak menentu. Yang jelas ini special. Aku tak perlu pusing melihat nominal-nominal lagi. Kini sangat special. Beberapa agustus tahun lalu aku banyak beraharap dan ditutup dengan hasil dari  sebuah perjuangan. Kemudian di penghujung agustus itu aku sudah mendapatkan apa yang aku dapatkan lebih besar dan indah, yang ketika yang kita minta itu datang tepat pada waktunya.

Agustus memang pembelajaran untuk menjalani setiap hari dalam hidup dengan sederhana dan bahagia. Cukup bahagia dengan apa yang kita rasa cukup. Bahkan kamu yang sudah tak  lagi ada kabar aku tetap menunggunya, bagi ku itu sederhana.

Sedikit penantian itu adalah proses kesabaran. Tidak terlalu mengada-ada keadaan dan tidak begitu alay dalam mengungkapkan perasaan. Karena pada dasarnya kita pasti akan ditertawakan namun beberapa orang akan melihat dan akan memberikan sebuah senyuman ketulusan.

Kita akan tau kapan kita berhenti menunggu dan bergerak maju, kita yang akan tau kapan kita akan melangkah lagi, karena kaki ini masih kuat untuk melaju namun kaki ini menghargai setiap penantian itu adalah sedikit tindakan yang mampu membawa ke jalan selanjutnya, karena melangkah itu punya tujuan bukan kita melangkah untuk meninggalkan. Kita melangkah untuk melihat dunia.

Tak ada kata lelah karena agutus ini menfasilitasi  kamu dengan purnama dan ribuan bintang yang akan membawamu jauh dari arti kemenangan, yaitu ketenangan.

Sedikit obrolan kita di waktu lampau cukup membuat kita tau bahwa kita kemarin masih datang tepat waktu sekedar bercerita bertukar obsesi dan merangkum kisah selama kita tidak bertemu. Indahnya jerman, cantiknya Makassar, bahkan depok yang sudah mendidik kita menjadi saksi bahwa kaki kita kuat betumpu dan terus maju, mata kita masih kuat untuk tejaga dan merangkai cerita baru yang akan kita ceritakan di waktu kita bertemu kembali. Entah itu untuk kembali atau hanya sebatas pertemuan biasa tanpa cerita yang satu sama lain menggapnya menarik.
“selamat agustus ber, kamu disana baik-baik ya, kejar mimpi kamu, jangan berhenti, karena disaat kamu berhenti kamu akan tertinggal dengan yang lain, kamu tetap fokus ya, kamu harus tetap menjaga apa yang sudah kamu punya dan meningkatkan apa yang sudah kamu dapat” (2009)
Ucapan dari benua biru itu ku terima agustus beberapa tahun mundur dari sekarang, namun tidak pernah ku balas, hanya masuk dalam inbox pesan pribadi di email dan entah kenapa terselip di spam. Yang jelas aku menerka kalimat sederhana itu bahwa disaat aku berhenti aku akan tertinggal, bahkan disaat berhenti aku hanya mencoba mencari tau jalan yang akan harus tempuh selanjutnya, ini bukan berpolitik dengan waktu, karena waktu itu akan terus tereduksi. Fokus adalah bagian terpenting, namun sedikit menanti adalah cara tetap untuk menjaga dan meningkatkan apa yang sudah dalam strategi kita.
“selamat ulang tahun cit, kamu hebat pokoknya, kamu yang gak pernah menyerah, kamu yang terus berjuang, dan kamu yang banyak mengajarkanku apa itu berjalan dan melangkah kedepan. Aku harap memang kamu” (2012)
Beberapa kalimat yang datang dari kota jogja itu membuatku waktu itu benar-benar merasakan bahwa aku tidak sendiri. Itu adalah semangat yang tak berujung dan terus membara, dimana aku belajar dan terus belajar, berjuang mesti di caci dan di jatuhkan. Berjuang itu bukanlah guyonan nyentrik yang semua orang bisa tuliskan dalam catatannya, berjuang itu adalah mengenal dan menjaga langkah kaki dengan ritme dan penuh nada. Karena berjuang itu bukan lah makian yang harus kamu ungkapkan dengan mulut, berjuang itu adalah habbit. Kota depok yang membesarkan jiwa ku untuk lapang dada melihatmu menjauh dan pergi tanpa kembali mengucapkan sepatah kata pun, hanya tindakan. Pergi!!
“selamat ulang tahun mas, semoga kamu makin keren dan gombal nya makin jago ya, mas jangan suka ngilang, karena mas bukan siluman mimpi yang hanya bisa mimpi, aku yakin mas bisa ngewujudkan mimpi mas yang super keren itu” (2014)
Tak akan lari mimpi bila dikejar, karena mimpi adalah teman baik sebuah perjuangan, dimana slogan kontingen nya adalah hasil tak akan menghiati perjuangan. Begitu banyak yang ku kenal dan ku coba kenal dengan sengaja, malah waktu itu kamu datang dengan ketidaksengajaan dan senyumanmu hampir membuatku lupa bahwa kopi ini pahit. Namun kamu adalah ketidak sengajaan yang aku temukan didalam kerumunan masyarakat bugis dimana suku jawa adalah minoritas. Anggun cerdas dan sederhana yang membuat ku sedikit terpapras menjadi sangat teduh hanya dengan menikmati lantuanan live music dan cappuccino itu.

Lantas ini bukan lah akhir dari perjuangan karena semua itu sudah berlalu menjadi sebuah baris deretan kalimat yang layak untuk di perdengarkan. Tantangan demi tantangan, kaki yang sudah mulai melangkah menemukan jalan, bahkan aku tau jalan itu tak begitu lurus, eletron di otak sudah mulai bertabrakan dan menghubungkan syaraf sehingga menghasilkan adrenaline untuk siap, siapa apa? Sedangkan didepanku hanya ada secangkir kopi dan diatasku ada purnama setelah itu bintang yang bertaburan.

Kapal ini baru saja meninggalkan labuannya, berlayar dan memaknai ombak yang begitu kencang itu. Menjadikan tantangan yang nyata, gemerlap bintang dan purnama pasti akan dirasakan di hamparan samudra luas. Yang jelas aku berterima kasih kepada agustus sebelumnya yang menghiasinya dengan rasa.

Espresso ini masih menemaniku, menikmati malam minggu yang begitu sahdu. Aku tersenyum
Seseorang datang untuk pergi, kemudian mencari alasan. Pahit bukan?
Aku coba menambahkan gula agar sedikit manis.
Tidak untuk mencari alasan, karena alasan itu adalah pergi.
Jika cinta adalah anugrah dan fitrah? Kenapa kita dipertemukan untuk patah dan ditinggal pergi dengan banyak alasan?

Tidak seteoritis itu cinta, karena cinta adalah rasa, dimana kamu harus mengerti bahwa ada hikmah dibalik itu semua. Jika kamu tidak memilih pergi, bersyukurlah karena kamu baru saja membuktikan bahwa fitrah itu bukan teori yang banyak alasan.

Jika dipertemukan kembali kamu akan tahu seberapa jauh kamu membuang waktu dan tidak pernah mensyukuri.

Agustusku, adalah perjuangan yang diharuskan dan dikaruniakan kepadaku.
Be nice please agustus…



see ya next saturday night gais.....