Minggu, 15 November 2015

GEOGRAFIS DAN KOPI

credit by: andi uci

Sabtu Pagi itu aku harus berburu penerbangan menuju jakarta, entah hal apa yang harus kulakukan lagi untuk kesekian kalinya menghadapi kemarahanmu. aku gemetar dan sangat terburu-buru membayar tiket diloket terminal bandara sultan hassanudin makassar.

tiket penerbangan yang sangat pagi ini, 06.25 waktu indonesia timur, aku bahkan lupa untuk menyisir rambut dan memakai gel.

langkah ini sudah tak kuasa untuk sampai di jakarta. menemui kamu yang sedang tak enak hati kepadaku, masalh kita yang sudah berbulan bulan lalu dengan hal yang sama membuat aku selalu bingung dan selalu tidak tau harus berbuat bagaimana lagi. kali ini aku harus benar-benar memperjuangin hubungan ini.

konflik demi konflik terus terjadi seusai kita benar-benar sah terpisah geografis. aku selalu termotivasi jika sebuah masalah dalam hubungan akan selalu mendewasakan. namun masalah itu terlalu datang dnegan bertubi-tubi. ditambah masalah pekerjaan kita yang selalu menjadi beban pikiran.

aku hanya takut kehilang dia, aku selalu ingin mengalah agar dia tidak terlalu berapi api emosinya.

jika laki-laki selalu salah mengapa wanita tidak pernah mencoba untuk memberikan evaluasi kepada laki-laki.

kecerobohan ku yang sudah dikenal sejak dulu olehnya selalu menjadi hal yang paling cepat membuat dia marah akhir-akhir ini.

pagi ini aku masih terlalu lelah, perjalan panjang yang sudah kutempuh setelah tugas dari ujung sulawesi tak mampu menahan dan menjadikan alasan untuk tidak pergi ke jakarta menemui mu yang sedang berapi-api di sana.

tiket sudah ditangan, langkah terburu-buru, dengan tas yang hanya berisi 2 kaos dan satu celana pendek, aku nekad ke jakarta menerjang keterbatasan dan kelelahan yang sudah tertupuk dalam raga ini.

perdebatan kita tadi malam mebuat aku tak bisa tidur semalaman. pesan yang kuketik berkali-kali dan berulang serta panjang lebar tak mampu memberikan penjelasan dan peredam amarahmu.

aku bahkan sampai lupa apa alasan kita berdebat panjang dan berselisih dari kemarin, bahkan sebenarnya kamu pun kuyakin pasti tidak tau kenapa kamu marah kepada ku.

sekarang yang kutahu adalah aku harus segera ke jakarta menemuimu.

**

panggilan boarding sudah menyeruh di setiap ruangan tunggu pagi ini, tertera nomor penerbangan dengan tujuan jakarta. aku pun masuk dengan pikiran sudah tak disini lagi. yang akan kupikirkan selanjutnya adalah bertemu dan menjelaskan apapun yang ku bisa ucapkan kepada kamu.

penerbangan berdurasi 2 jam ini akan terasa sangat mencemaskan, bukan karena cuaca yang buruk namun ini akan firasat buruk petikaian kita. aku hanya takut petikaian kita ini bukan karena keegoisan atau kesalapahaman, aku hanya berpikir akan ada orang lain di antara kita.

terlalu banyak aku menggambil hipotesis untuk masalah kita ini. kamu yang terlalu keras kepala membuatku selalu tak bisa berpikir jernih dalam setiap pertikaian. 

mungkin segelas kopi yang baru saja disuguhkan di pesawat oleh pramugari ini masih panas dan belum hilang habis uap nya, aku pun ingin sedikit menenangkan pikiranku yang sedari tadi itu melulu tentang kamu. 

kuangkat gelas ini dengan tangan yang gemetar, gemetar yang tiba tiba muncul akibat hipotesis yang terlalu banyak membuat tak sampai ujung gelas ke mulutku dan tertumbah di meja kursi depanku. memang tidak terlalu banyak tertumpah namun gelas berbahan kertas tebal itu sudah kehilangan volumenya yang hampir setengah dari seluruh volume kapasitas gelas. 

sebegitunya aku terlalu gemetar dalam menyikapi kemarahanmu. 

kembali pramugari itu menggati kopiku yang tertumpah dengan gelas baru dan isi yang baru.  

pramugari yang  terlihat masih muda sekali itu begitu baik sekali untuk ukuran orang yang sedang dilanda gundah atas kemarahan yang terpisah geografis ini. 

kembali kuraih gelas dari tangan pramugari itu, tangaku masih gemetar terlihat jelas sekali, dan akhirnya tanganku dan tangan pramugari yang putih bersih itu bertemu hingga gelas kopi itu tertata diatas meja kursi depanku. aku masih sangat biasa dengan kejadian ini. karena dipikiranku dipenuhi indri.

pramugari itu masih melihatku namun tatapanku tertuju diatas gelas kopi dan tangan kami yang bertemu diatas meja kursi pesawat dan di selimuti hangat kopi yang tersaji dan baru saja diberikan untuk mengganti kopiku yang tadi sudah jatuh. 

aku melihat plat nama yang ada di dada pramugri itu, pramugari berkulit putih berwajah kalem itu bernama indah, tinggi yang semampai dan senyum ramah khas menjamu para pernumpang selalu terpasang. 

memang sudah tugas dia dalam pesawat memberikan kenyamanan yang penuh kepada penumpangnya. namun aku yang kali ini sedikit menjadi beban ektra pramugari masih belum bisa merasakan pelayanan yang baik dari awak kabin pesawat ini. 

pikirann yang sudah jelas jelas tak melekat di ragaku masih menjadi alasan tanganku gemetar hebat ini.

"hati yang riuh, akan kehilangan cara untuk menjernih dan mengendap" pramugari itu berbisik lirih sembari kopi sudah pas terletak dimejanya

pramugari itu begitu tau bagaimana caranya memberikan sapaan yang bagus dan baik untuk penumpangnya. namun ini bukan sapaan ini sebuah kata emas yang keluar dari mulut pramugri cantik yang baru saja membantuku dan memberikan kopi ku kembali.

dia seolah tahu penumpangnya ini begitu berantakan dengan lika liku hubungan geografis yang tak punya gravitasi. 

ya tak punya gravitasi yang artinya bisa jatuh kapan saja dan dimana saja, bsia juga dibuat melayang seperti diruang hampa yang sudah menjauhi atmosfernya. 

begitu damainya kata itu kelaur dari mulut manisnya pramugari itu, senyum yang ramah itu meneduhkan dan mengendapkan sedikit masalahku yang begitu keruh kurasa. namun senyum dan kata nya tadi membuat aku sedikit tenang dan kehilangan gemetarku yang ada di tangan, sehingga aku tau kopi ini akan bisa membuat aku bisa sedikit relax untuk menghadapi masalah ini.

pramugari itu kulihat sedah menjauh dari deret bangku kosongku. menjauh tapi masih bisa kulihat, 

aku hendak ingin mengucapkan sedikit kata terima kasih kepadanya karena baru saja aku bagun dari kegelisahanku. 

entah kenapa aku berpikir dia adalah penikmat kopi juga sama sepertiku. sehingga kata-kata nya tadi begitu menenangkan dan membuka mata dari gelapnya kegelisahan. seperti kafein yang begitu teduh serta gurih. 

tak sampai benar benar habis kopi ini, dan pikiran yang sudah mulai menjernih, pramugari itu datang melintas dan menghamipiriku kembali sekedar basa-basi menanyakan gelasnya bisa diangkat atau masih mau nambah coffe nya.

sesampainya tawaran itu berhenti pas dari mulut ramahnya itu, aku langsung bergegas mengucapkan terima kasih.

"terima kasih mbk indah sudah menjernihkan pikiran saya"

"iya pak, sudah menjadi tugas saya melayani para penumpang pesawat ini.." ucap nya tak panjang lebar namun tetap dengan aksen ramahnya yang tak hilang

kemudian ia berlalu dengan gelas kosong bekas kopiku tadi.

tak lama setelah itu pengumuman pesawat akan landing dari sang capten pesawat terdengar samar dari sound yang tepat berada diatas kepalaku.

**

sesampainya dijakarta,

langkahku keluar meninggalkan pesawat dan melewati pintu menuju garbarata masih kulihat indah berdiri dan menyapa para penumpang yang turun. kemudian giliranku yang disapa kembali oleh indah sebelum meninggalakan pesawat.

pintu kedatangan pun terbuka. aku segera bergegas mengambil taksi menuju kantornya indri, karena kutahu sabtu setiap akhir bulan dia selalu lembur untuk menyelesaikan laporannya.

waktu jakarta sudah menunjukkan jam 9 siang tapi walaupun  hari sabtu masih tetap saja jakarta macet.

kantor indri yang beradadi daerah super macet dan padat membuat pak supir taksi mengambil jalan pintas yang jaraknya bukan malah dekat malah semakin jauh namun dipastikan tidak terkena macet jakarta yang semakin tahun semakin menggila.

setelah hampir satu jam dari bandara di taksi ini, aku sampai tepat di kantornya indri.

jam sudah menunjukkan waktu setempat pukul 10.

aku  turun dari taksi dan langsung menuju lobi untuk menanyakan kepada receptionist ruangan indri dan memastikan indri betul-betul masuk kantor hari ini.

suasana lobi yang cukup sepi

resepsionis pun mnyuruhku untuk menunggu duduk di sofa tunggu yang berjejer berderet menghadap kearah jalan dengan ruang ac yang begitu nyaman untuk menunggu.

aku disuruh menunggu hingga jam istirahat, karena indri masih di ruangan dan sedang ada pertemuan rapat.

aku pun duduk santai hingga tak sadar aku terlelap tertidur mungkin efek kopi di pesawat tadi sudah hilang ditambah lelahku yang sudah menjenuh.

hingga tak dirasa waktu sudah menunjukkan jam 12 siang yang menandakan waktu istirahat telah tiba.

namun aku masih tertidur diatas sofa nyaman ini dan hanya aku sendiri yang menunggu hingga terlelap.

kemudian aku dibangunkan...

dan

SEE YOU NEXT WEEK GAIS

bersambung

Sabtu, 31 Oktober 2015

JARAK DAN KOPI KITA

credit by: EBITAli

setelah beberapa jam perahu kami memecah ombak, kami pun tiba di ternate. membereskan semua barang dan memindahkan ke daratan yang akan selanjutkan harus di penginapan.

penerbanganku kembali ke makassar masih keesokan harinya. masih ada kurang lebih satu hari untuk istirahat.

aku masih sesekali menengok kearah laut kearah timur tepat dimana speed boat kami dari arah timur meninggalkan pulau kecil itu. pulau kecil yang diaman sudah tersisa jarak dan waktu.

sesekali aku mengingat senyum dan lambaian tangan dari dokter muda itu, senyum dan dekapan manisnya itu masih sedikit kurasa. aku sadar entah kapan waktu lagi akan bisa bertemu langsung dengan dia.

perjalanan ke penginapan pun masih terasa begitu berat. bukan barang bawaan dan sampel yang menumpuk yang membbuat langkah ku ini begitu berat. tapi aku yakin rasa rindu yang belum benar benra tuntas tereduksi isu telah menjadi sedimen yang selalu menguap ke menemus memori yang sudah tersimpan. membuka kenangan kembali sewaktu-waktu.

mungkin ini hanya sementara namun aku selalu berhipotesis salah.

rindu ini makin mengakar, setelah semua yang kudenngar dari bibir tipis dokter berambut panjang di pulau tadi pagi.

sudah lah mungkin ini akan berlalu,

perjalanan ku ke penginapan yang tak jauh dari dermaga sandar speedboat kami. disambut dengan senyum pak haji yang sudah menunggu sedari tadi kedatangan kami. pak haji membawa mobilnya mengantarkan ku menuju penginapan. sedangkan zul dan teman-teman lainnya kembali kerumah meraka karena tugas telah usai.

sesampainya di penginapan, pak haji mengajakku untuk pergi mencari makan. perut yang sedari tadi diguncang ombak inipun rasanya sudah sangat kosong, namun sedari tadi juga aku tidak merasakan lapar sama sekali, yang hanya ku rasakan adalah rasa jauh terpisah lautan kembali dengan uty.

aku diantar pak haji untuk menaruh semua barang dan sampel di kamar penginapan. kemudian melanjutkan untuk pergi mencari makan. tak lama setelah mengunci kembali pintu hotel, handphoneku pun ku nyalakan kembali.

efek besar meninggal pulau di ujung utara itu adalah aku lupa bahwa aku punya handphone yang harus kunyalakan.

begitu handphone menyala begitu banyak pesan yang masuk. salah satunya adalah dari puspa.  tak sempat ku menyelesaikan membaca pesan itu, dering telponku berbunyi dan ku lihat itu dari puspa.

"hallo assalamualaikum...." kuangkat telpon itu sembari jalan menuruni tangga penginapan menuju perkiran mobil didepan.

"waalaikumsalam, masssssssssss... kemana aja sih,,, gak ninggalin kabar sama sekali" puspa diujung telpon itu begitu terlihat sewot  karena aku beberaapa hari tidak bissa sedikitpun menghubunginnya.

"heheheh, jangan marah dong.. mas gak ada sinyal dek... disana terpencil sekali.. handphone aja kayak benda yang gak punya fungsi... beneran,, serius,,,," kau yang mencoba menjelaskan agar dia mengerti.

aku selalu terhibur dengan suaranya yang lucu itu, sifat bocahnya yang masih kental membuat dia terkadang menjadi hiburanku jikalau lelah menghampiri di tanah perantauan.

"udah ya jangan marah,, kan yang penting mas udah bisa dihubungin lagi kan jadi udah gak khawatir toh.. heheh" aku masih saja terus menggodanya nya...

"iya deh iya, maaf ya mas udah sewot, soalnya aku khawatir banget mas" nada manjanya itu membuat aku menjadikan ada rindu dan ingin cepat sampai di makassar.

sekarang mendadak rasa rinduku muncul untuk puspa. namun sosok uty masih berada dalam pikiranku juga.

aku melanjutkan perjalanan menuju tempat makan yang berada di dekat dermaga kapal rakyat di kota ternate.

dengan mengenakan pakaian dan tas pinggang yang masih kukenakan dari pulau dama karenaa pak haji tidak memberiku kesempatan berganti baju sebelum makan.

**
makanan ikan bakar tersedia di meja kami, kami menikmati sajian itu, perut yang sudah lapar angin berhembus sepot, ombak yang sesekali menghantam daratan menjadikan semua begitu pas.

hataman ombak itu menjadikan campuran gesekan hati antara kita, angin sepoy itu menunjukkan adanya yang berubah, menjadikan teduh dan terlalu indah untuk tidak memikirkanmu. dan sajian dimeja menjadikan hal terakhir untuk menutup kekosongan yang sedari tadi tertahan dan telupakan akan satu kata yang berarti.

yaitu rindu.

perbincanganku dengan pak haji kali ini tidak begitu semenarik bisanya, karena ada hal yang menjadikan aku sedikit tidak fokus dengan topik obrolan dengan pak haji serja kawan-kawan.
\
hal yang tidak begitu menjadikan fokus pada tema pembicaraan itu adalah sepucuk kertas yang entah kenapa ada di tas pinggangku, kertas asing yang tentunya bukan surat tugas ataupun surat keterangan sampel yang aku bawa. kertas ini begitu kusam, aku yakin ini sudah lama sekali, namun baru sebentar berada di kantongku.

pikiranku pun sudah mulai tidak begitu fokus, akhirnya kau meinta ke pak haji untuk kembali ke penginapan berdalih istirahat karena badan terasa capek.

sesampainya di penginapan aku pun masuk sebentar dan membersihkan badan

sedikit beristirahat sembari menikamti acara televisi yang menggantung di dinding penginapan.

kertas asing itu masih belum sempat aku baca...

aku putuskan untuk membacanya.


Kisah klasikku
Jika kamu tak ingin tak usah.
Biar saja batin masih tertidur dalam kenangan
Itu pun jika aku boleh berharap
Bisakah kamu yang akan membangunkanku dari tidurku
Aku yakin aku tidak tidur
Pelukmu akan kurasa suatu saat nanti
Dengan kerinduan yang begitu mendalam
Lalu setelahnya setidaknya aku bisa bersyukur karenamu.
Kurasa waktuku tak begitu banyak, ini akan begini?
Atau…
Ini akan? Ah sudahlah

Mungkin hanya kimia
Benar-benar kimia saja yang kau rasa. Sedangkan kurasa waktu
Waktu belum berhasil mengajariku
Hanya mengajarimu
Bukan kita
Atau hanya kamu ku pikir?
Segala hal tentang kamu
Duduk disebelahku, di kedai dengan musim semi eropa
Kamu yang menyampaikan satu hal sebagaimana manusia.
Aku manusia, lebih tepatnya wanita
Wanita yang selalu merindukanmu
Aku berhati juga,
Namun setidaknya musim semi ini yang akan mewakiliku
Menemaniku di setiap teguk kopi ini

Gottingen, musim semi ke dua
Dari ku di benua eropa
Untuk kamu bery.


ternyata kertas kusam itu sudah lama memang ditulis oleh uty, entah berapa tahun lalu, belum ada keternagan waktu yang tertulis.

yang jelas secara tidak sadar, perjalanan ku ke dermaga pulau dama tadi itu secara sengaja dan terencana uty menyelipkan supucuk surat itu ke tas pinggangku yang terletak posisi belakang punggungku.

surat itu diselipkan ketika pas aku sedang sibuk mengemas barangku masuk ke speedboot.

setelah membaca surat itu hati ini memang begitu tidak karuan, tadinya aku hanya ingin beristirahat namun hingga sore menjelang aku masih saja resah.

akhirnya aku pun memutuskan jalan jalan sore ke dermaga menikmati hembusan angin sore di pinggir pantai.

sebuah perahu nelayan yang sudah terparkir di dekat pantai itupun menjadi tempat duduk ku menatap ke arah utara. mengingat dan sembari sesekali menikmati rasa rindu akan pertemuan dengan uty.

aku pun memesan kopi hitam untuk mnikmati sore ini.

kopi sudah datang, aroma karbon dan wnaginya kaffein itu menghampiri

disitulah aku menyadari kamu sudah jauh dan kamu menyisakan kerinduan itu

rindu akan kamu dokter muda dengan mimpimu yang tak pernah padam serta kopi hitammu yang selalu menggugah adrenalin untuk tetap tidak leleh belajar dan terus belajar walaupun aku baru saja belajar untuk merindukanmu.


Bersambung....
SEE YOU NEXT WEEK GAIS



Minggu, 25 Oktober 2015

PAGI DAN PERTEMUAN YANG MENJANJIKAN

pasir yang terhapus ombak

pagi itu telah datang, uty menghampiriku dengan kopi hitamnya, sepagi ini dokter muda itu  telah begitu memperhatikanku, namun ini memang pagi yang kembali memberatkan kita untuk kesekian kalinya. pertemuan yang begitu mendadak menimbulkan perpisahan (kembali) setelah beberapa tahun lalu kami saling kehilangan.

Pak desa dan beberapa temanku sudah bersiap jalan menuju dermaga, barang bawaanku juga sudah tersimpan dan dibawa oleh zul ke kapal yang akan membawa kita menujuternate kembali. ombak pagi ini begitu ramah, tidak begitu berderu kencang, namun pasir tetap lah pasir yang akan terbawa dan berdesir pelan mengikuti arah ombak. pasir tetap lah pasir yang selalu terbawa dan disapu ombak. perasaan kehilang itu tetaplah ada, apalagi rasa ridnu yang hanya kita habiskan tak lebih dari purnama yang habis periode oleh putaran bumi. kamu tetaplah wanita yang selalu mencoba memberikan apapun yang kamu bisa dan terbaik untukku walau lebih sering aku tidak bisa membalas segala kebahagiaan yang kamu bawa untukku.

kini pagi sudah menjawab semua, rindu mempunyai waktu. sedangkan kehilangan hanya akan menunggu waktu. dalam pertemuan selalu ada perpisahan. teori empiris itu sudah menjadi akar dalam setiap roda kehidupan. sekarang aku akan kembali kehilangan, begitupun uty yang akan meghabiskan waktu untuk berpetualang dan berarti bagi negeri yang ia sangat cintai. walau seorang wanita aku rasa dia adalah wanita tangguh setangguh ombak yang selalu akan menemukan daratannya.

semua sudah siap meninggalkan pulau ini, tinggal aku yang terasa berat meninggalkan pulau ini. pulau yang akan menjadi tempat yang tenang dan damai dalam setiap pertemuan. pertemuaku dengan uty yang begitu sendu dan syahdu. aku berjalan pelan menuju dermaga bersama uty. melintasi setiap jalan berdua dengan diam sembari sesekali aku melihat wajahnya yang entah kenapa tidak semangat sekali. aku yakin dia sedang kembali menyembunyikan kesedihanya itu. dan memang selalu uty adalah karang hidup yang selalu bertahan dengan terjangan apapun walau akhirnya air mata nya adalah tanda terjatuhnya kekokohan hatinya itu.

beberapa meter lagi kami akan mencapai dermaga itu, dermaga yang akan memisahkan kita sampai waktu yang belum ditentukan. dermaga yang menggoreskan kenangan dimana aku melihat dan mendekap tubuhnya dengan erat untuk sekedar menenangkan dia akan sakitnya kerinduan itu. pasir pasir itu berbisik, suara ombak menjadi musik sendu yang akan membatasi kita kembali ke geografis berbeda.

"ber, kamu hati-hati ya, jaga baik-baik diri kamu" ucap uty tepat ketika kaki ini sudah meninjak pelataran dermaga.

" iya ty, kamu juga, kami jaga diri baik-baik, kamu jauh dari keluarga"  aku masih saja mencoba datar,

sebenarnya diriku juga masih menyembunyikan apa yang akan aku rasa pada uty. rasa kehilangan dan riindu yang masih belum usai. rindu yang terbatas waktu itu belum cukup waktu untuk ku tinggalkan.

namun langkah kaki ini harus maju kedepan meninggalkan sesuatu sebelum aku tertinggal akan kapal yang akan membawaku kembali pulang ke makassar dan bertemu dengan duniaku yang baru yaitu puspa.

aku masih yakin kopi hitam dari uty masih belum terkalahkan dan selalu menjadi pengobat rindu yang mempunyai batas waktu, senyum nya masih menempel dalam seteguk pertama kopi hitam itu. belum berubah sampai saat kita bertemu kembali tiba.

"ty, aku berangkat dulu ya, maaf aku masih belum bisa membuat kamu tersenyum" salam ini akan segera membawa kami ditanah yang berbeda.

"iya ber, aku yakin suatu saat kita bertemu lagi. kamu tetap semangat ya" sembari terseyum uty menghantarkanku masuk kedalam kapal yang akan membawaku ke ternate

nyala mesin kapal sudah mulai membising, membuat daya dengar kami menurun, dan akan meredam semua pembicaraan kami. kapal sudah mulai tergerak, tangan pak desa dan anggotanya melambai ke kami, melambai menemani kapal yang sudah mulai hengkang dari dermaga. kapal sudah mulai menjauh pelan pelan, terlihat uty yang masih berjalan meninggalkan dermaga dan turun kepantai sembari tetap melihat aku yang masih duduk di belakang dekat dengan mesin kapal yang sudah menjadi keras dengan buih air laut yang teraduk oleh baling-baling mesin.

masih berdiri diatas pantai pasir putih dan diantara bebatuan tempat pertama kami bertemu waktu itu. aku sudah tidak bisa jelas melihat mata dan wajahnya yang ayu itu. aku yakin air mata nya itu akan menetes kembali namun aku sudah menjauh dan entah bagaimana lagi aku harus tetap mengingatnya.

aku masih hanya berharap dan selalu memeluknya dalam doa, memeluk sebagai seorang sahabat yang banyak mengajarkanku semua lini arti perjuangan.

begitulah cara kami saling menghargai rindu dan selalu mengerti cara disetiap sisi ambisi dan misi, berbicara perjuangan dan artinya dalam segelas kopi hitam yang dibuat tidak dengan sekedarnya, namu dibuat berdasarkan perasaan terbaik yang menjadi kan kita tetap tersenyum, tertawa, bersedih serta mengerti arti dalam setiap teguknya.

Tegukan pertama, ada senyum yang menyelimuti rindu,
Tegukan kedua, ada arti dalam setiap bahasa diri dan komunikasi yang membuat tegukan ketiga menjadi hangat
Tegukan ketiga akan selalu menjadikan setiap perbincangan menjadi hangat dan berkesan disetiap sisinya, mengartikan manis nya pertemuan dan kebersamaan yang tak bisa dibayar dengan apapun
Tegukan berikutnya menjadikan setiap pemikiran menjadi tenang, menjadikan emosi teredam serta menjadikan air mata sepantasnya jatuh untuk sekedar menghargai perasaan yang terpendam
Tegukan terakhir memberikan arti bahwa setiap mimpi mempunyai titik pencapaian dan membuat menjadikan semangat baru untuk tetap Fokus meraihnya.

akhirnya kapalpun sudah menjauh dan tak lagi terlihat pulau dama yang menjadikan damai itu nyata, serta menjadikan pertemaun kembali itu begitu menjanjikan.

--- Bersambung ---
SEE YOU NEXT WEEK GAIS

Minggu, 04 Oktober 2015

SECANGKIR KOPI UNTUK MENUNGGU **

credit by : tali jiwo

aku masih dalam dekapan indri, 
masih disini tentunya, kafe nyonya tua akan menjadi hal yang paling aku ingat jika aku mengingat indri. penerbangan memang masih lama. dalam hal ini aku biasa sangat membenci delay pesawat maskapai lokal yang selalu menjadi langganan delay namun tidak pernah terdengar isue kebangkrutannya. 

disini dengan indri menjadikan aku sangat menyukai delay pesawat. hal yang tida aku sukai menjadi hal yang akan menjadi sesuatu yang akan aku sukai. delay maskapai paling romantis bagiku. masih dalam pelukan indri menjelang detik detik penentuan kebersamaan kita dan akan menjadi manusia yang terpisah secara geografis. 

"jika ada pertemuan pasti akan ada perpisahan" (anonim)

aku mulai dan akan terbiasa dengan pribahasa itu. aku pernah bertemu dan sudah bertemu dengan indri serta menghabiskan hampir beberapa tahun untuk sekedar membuatnya tersenyum dari sakit hatinya yang sudah menjadi kerak dalam hatinya. hingga jogja yang menjadi saksi kebersamaan kita walau pun dalam legenda jaman dulu salju akan menjadi hal paling indah dan romantis di setiap cerita eropa, namun kami sepasang orang jawa tulen mengubah hal yang paling indah dan romantis dalam kebersamaan itu ada hembusan abu vulkanik yang bertebangan dan menutupi jogja waktu itu.

perlahan aku mulai membalas pelukaannya dan mencoba menyuruh dia untuk duduk kembali dan bercerita atau pun menjelaskan sesuatu yang membuatnya tiba tiba memelukku. 

kami pun akhirnya duduk berhadapan, indri yang sedari tadi memesan capuccino hangat. kuperhatikan capuccino hangat itu maish belum kehilangan hangatnya, mungkin baru beberapa saat dia disini. aku pun memesan cappuccino panas untuk sore yang hangat  ini. 

perbincangan akan segera dimulai, aku bersiap untuk beberapa pertanyaan, namun peluh yang masih membasahi matanyanya dan belum kering itu mengurungkan niatku untuk memukul dia dengan pertanyaan pertanyaan yang sedari tadi aku siapkan untuk menghakimi indri. aku mengurungkan niat dan aku melemparkan senyum yang paling manis untuk sore ini kepadanya. 

jakarta sore ini memang sangat cerah, perpisahan secara geografis ini memang mengalihkan raga ke pulau lain, namun hatiku memang belum terpisah secara geografis. indri masih sibuk dengan mengusap peluhnya dan mencoba tersenyum sesekali.

"kenapa ya dalam hati mesti ada dua rasa" 
indri pun melontarkan pernyataan itu sembari sesekali mengusap air matanya

"hey, kenapa kamu? kok tiba-tiba nanya gini?"
aku mencoba menanyakan maksutya itu

"iya cid, aku salah, aku terlalu egois, aku masih belum bisa ninggali kamu, aku salah aku gak bisa ambil keputusan malah aku lari dari kamu."
kemudian indri pun masih meneteskan peluhnya kembali

"aku masih bingung maksut kamu apa? ada apa sebenarnya?"
aku masih menunggu air matanya itu kering dan dia menjelaskan dengan tenang tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"aku sebenernya nyaman sama kamu cid, kamu tuh orang yang paling sabar ngadepin aku, aku banyak belajar dari kamu apa itu perjuangan. tapi kenapa hati ini masih terbagi dua, kenapa aku masih mengingat orang yang membuat aku runtuh dan berantakan. dia udah jahat tapi kenapa dia gak bisa buat hatiku ini menerima kamu, aku masih bingung kenapa seolah dia ini masih menghalangi buat aku bener-bener nerima kamu"
masih dengan tersedak sedak dia menjelaskannya, matanya yang sedari tadi becek oleh peluh air matanya, dan kini memerah. aku rasa dia menjelaskannya begitu dalam.

"kenapa sih kamu menghilang, coba kamu jelaskan ini dari pas kamu wisuda kemarin, setidaknya aku masih punya kesempatan buat menata lagi hati kamu yang berantakan, kao kayak gini sama aja kamu matiin hati aku, kamu udah berantakin aku tapi kamu sekarang malah menjelaskan ini begitu akhir,"
aku bercampur emosi menjelaskan dan ber-argumen kepadanya,

"aku jahat ya? "
pertanyaan itu membuat aku makin tidak bisa menyalahkannya, aku selalu takluk dengan pernyataan yang berintonasi senduh dengan tatap matanya yang kini basah,

lantas kalo sudah seperti ini aku bisa apa, aku akan keperaduan baru, ke tempat baru, ini begitu mendadak, ini begitu mendalam, ini adalah agus yang selalu terpecundangi dengan lawan, tentu lawannya itu adalah hati yang sudah tidak mengenal logika. sore ini begitu memerah megan sudah mulai menampakkan dirinya, matahari pun akan kembali keperaduannya, bersembunyi dan dia akan kembali esok hari dengan semangat baru, lain halnya dengan aku, aku bagai dalam pelarian yang terasing dan tak bisa bersembunyi, bahkan untuk kembali lagi dan bersemangat aku pun enggan. tidak ada yang tersisa di jakarta ini, semua kenangan yang sudah rapi tesimpan diantara tumpukan kardus dan koper yang sudah siap terbagasikan. beribu bahasa tersimpan rapi, berbagai barang sudah terjual dengan harga yang pantas, namun kejadian sore ini tak terjual walau kopi kita sudah akan kehilangan hangatnya, pelukan indri yang hangat mengawali sore tadi yang tersisa diantara bibir gelas yang masih dipenuhi oleh kafein itu.

"cid, kenapa diem... kamu jangan gitu dong, aku udah jelasin kan?"
dia sudah mulai kehaabisan peluh dan mengering becekan air mata yang sedari tadi masih tersimpan di kelopak matanya

"apa yang mesti harus aku terima lagi? aku yakin penjelasn kamu tak sependek itu, disini aku gak mau lagi sentengah setengah, aku ingin kamu menhabiskan semua isi hatimu yang sedari kemarin kamu tahan dan aku juga menahan utnuk mendengarnya. boardingku beberapa jam lagi ndi"
aku yang kali ini sedikit menguasai suasana mencoba untuk membuka hati indri

"iya aku minta maaf, jujur dalam hati ini aku ingin sama kamu, aku udah nyaman sama kamu, bahkan kamu yang begitu pasif yang kerjaannya selalu menunggu aku menjelaskan dan aku yakin kamu itu orang yang selalu menjaga perasaanmu, kamu itu udah memberikan lebih dari yang terbaik, aku disini untuk kamu cid, bukan untuk dia yang udah datang dan pergi gitu aja. memang ini semua terlalu curang buat kamu, tapi aku terlalu berekspetasi, andai waktu bisa di undur kan kembali, aku hanya ingin mengenal mu terlebih dulu dari pada dia"
mata nya memerah kembali, air mata itu terlalu mudah jatuh dihadapanku

"udah kamu minum dulu cappuccino itu, setidaknya itu akan membuat lebih lega dan selalu mengingatku disini, disore ini"

kami pun mulai menikmati sore dengan cappoccino kami masing masing, walaupun hangat nya sudah mulai bernajak pergi, namun masih ada tersisa hangat nya pertemuan yang tak akan bisa terkalahkan walauun itu terlalu telak dan aku yang berhasil mengendalikan diriku untuk tetap menyimpan pelukan dan senyumannya indri dalam setiap teguk cappuccino sedikit gulu ini.

"eh aku lupa nuangin gulanya ke gelasmu cid, terlalu larut sih ya.. hehe"
dia mencoba mengeluarkan senyuman mematikannya itu, yang tetap selalu ku tunggu.

"iya gapapa, pantesan pait nih, cuman cukuplah, dengan lihat kamu senyum gini aja paitnya gak bakal terasa kok" heheh
memang pait itu tidak akan terasa sekarang namun pait itu yang akan terus terasa hingga akhirnua geografis lah yang akan melarut kan nya sedikit demi sedikit

"cid, aku sayang sama kamu, aku mau kamu tetap menghubungi aku, aku mau kamu yang ada di hati ku, aku mau kamu gak berubah"
dia akhirnya jujur dengan perasaanya, dan kini dia tersenyum dalam tegukan kopinya itu

aku memang sudah sangat mengharapkan dia, aku memang sangat sayang kepada dia, tapi bagiku ini akan terasa beda. geografis akan membuatnya dia berubah, walaupun aku tau bahwa pergerakan akan mengakibatkan gesekan. aku tetap menerimanya, aku ingin mencobanya walaupun pasti aku akan kalah kembali dengan waktu, secara masalalunya lebih dekat dengannya dan aku terlalu jauh dengannya. jika disetiap tegukan di kopi yang sama dia masih mengharapkan dan merasakan hal yang akan sama maka cappuccino ini adalah bagian termanis yang akan menutup sore ini diantara megan dan matahari yang kembali keperaduaannya, walaupun aku tahu bahwa matahri bukan kembali leperaduan tapi matahari akan menyinari bagian bumi yang lain, setidaknya matahari esok tetap hangat walaupun geografis kita sudah beda.

"aku gak mau ngasih kamu janji apapun yang jelas kau cuman berharap kamu selalu konsisten merasakan manis yang sama di setiap kopi yang kamu nikmati, aku gak akan ninggalin kamu, cuman aku berharap kamu tidak terlalu jahat untuk pergi lagi dan diam dengan akhir penjelasan yang tidak bisa aku bantah"
kemudian aku mencium keningnya, dan dia pun mempersilahkan

pertemuan kita sore itu memang bukan akhir dari episode yang selalu menggantung dan menjadi pertanyaan di setiap langkah. pertemuan sore itu merupakan awal pergerakan baru yang selalu penuh tanya dan akan timbul gesekan yang luar biasa. pertemuan sore itu menjadi hal yang termanis sebelum aku meninggalkan jakarta ini. hirup pikuk kemacetan dan kekaacauan nya tetap akan selali aku rindukan dengan adanya dia yang akan menghiasi setiap malam di ujung telpon genggam ini.

perbincangan kami akan hal-hal indah pun dimulai, kami yang menhabiskan sore dengan sedikit drama itu menjadi lupa akan sakitnya masing-masing yang sudah dirasa setelah sekian lama, kami seolah lupa bahwa rasa sakit tadi turut larut dalam gelapnya malam, aku pun berjalan menuju pintu keberangkatan, dengan tangan yang tergandeng oleh tangan indri, berjalan meninggalkan cafe nyonya tua yang sudah mendewasakan kami tentang besabar. indri yang masih belum rela melepas tangannya untuk perpindahanku,

aku melepaskan nya dan masuk kedalam bandara, melaporkan bagasi yang akan di masukkan kedalam pesawat dan siap terbang ke tanah bugis. kemudian aku sejenak meminta izin untuk keluar sebentar sebelum panggilan boarding datang. aku hanya ingin menikmati sore ini yang tentunya tidak akan datang kembali, aku hanya menikmati sore ini yang akan menjadi catatan hangat dalam setiap cappuccinoku hingga akhirnya kafein dalam kopi itu meningkatkan andrenalinku untuk jadi sebuah semangat baru dan akan menjadi ada alasan untuk kembali ke ibu kota.

indri masih begitu manja untuk melepaskan ku ke perantauan baru, aku pun mengantarkan dia kembali ke mobilnya untuk dia kembali kerumahnya sebelum malam menjadi terlalu gelap dan jahat. seusai sholat aku berjalan dengannya keparkiran bandara menuju mobilnya untuk mengantarkan dia.

"kamu hati-hati ya cid disana, kamu jangan lupa terus kasih kabar, aku nunggu kamu disini, kamu jangan lupa untuk tetap selalu kejakarta buat nengok aku."
senyum manisnya itu kembai menghampir dan aku membalasnya dengan senyuman kembali

tak lama kemudian dia kembali memelukku sangat erat.

"eh udah, malu diluhat orang ndi"

"udah biarin aku cuman malu udah nyakitin kamu dan ninggalin kamu tanpa kabar"

"udah ya, nanti kalo aku kejakarta lagi bisa peluk lagi ya, doain aku disana ya, kamu jangan lagi diem tanpa kabar"

"iya siap profesorku"

perbincangan ringan dan penuh dengan suguhan manis kata serta senyuman itu menutup malam dan menjadikan semangat untuk bekal di perantauan.

aku mulai beranjak pergi dari tempatnya dan sesekali melihat dia tersenyum sambil melambaikan tangannya.

sore itu seolah berubah


SAMPAI JUMPA KEMBALI

SEE YOU NEXT WEEK GAIS......

SALAMM ULTRAMEN :))



Sabtu, 26 September 2015

SECANGKIR KOPI UNTUK MENUNGGU *

credit by : asyaura

TUNGGU AKU DISITU!!

suara itu keluar dari mulutnya, itu membuat saya harus diam disini.
gak ada alasan lagi? ya tidak ada lagi. hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
kata itu menjadi kata yang paling mengerikan didalam hidup. TUNGGU.
kata akhir yang membatasi ruang gerak dan menjadi salam sebelum dia pergi.

**
pesanku yang kukirim sore itu belum juga mendapat balasan. hingga akhirnya aku pun sudah merapikan barang dengan rapi dan siap untuk berangkat esok siang menuju makassar. aku masih berharap ada kabar dari indri, setidaknya kita masih punya kesempatan untuk bicara. berbicara hati ke hati memperjuangkan harapan yang sedari dulu aku inginkan. aku sudah cukup lelah untuk selalu berharap dan berjuang tanpa hasil. apalagi masalaluku yang tak pernah jelas karena aku terlalu takut. selama ini aku selalu memikirkan perasaan orang lain dan meduakan perasaan dalam diriku sendiri.mengalah dengan keadaan itu mungkin lebih tepat. jika cinta adalah perjuangan maka aku adaah barisan depan yang selalu terkena busur lawan. busur itu beracun dan selalu memupuskan harapan. racun itu adalah rasa takut akan gagal.

indri yang belum ada kabar sama sekali dari beberapa waktu semenjak pertemuan terakhir kita.

aku masih berharap untuk bertemu dengan dia walaupun aku harus selalu mengalah dan berpura-pura tidak apa-apa, padahal aku menahan rindu yang sudah terinfeksi menjadi luka dan radang yang harus segera di obati, bagaikan sebuah reaksi korosif, perlahan namun menggerus perasaan dan dalam. entah apa yang harus kudambakan lagi untuk bertemu dia sedangkan dia sudah lama bahkan tidak ada pedulinya dengan diri ini yang sudah lama merindukannya. tanpa ikatan.

semua sudah siap, semua sudah rapi, dan semua siap hengkang. namun perasaan ini selalu kalah dan penuh pertimbangan, walaupun aku seorang laki-laki namun kini logika ku telah terkikis perlahan dan hilang di taklukkan oleh dia dan ketidakpastiaannya. dalam sebuah perhitungan pasti ada perhitungan nilai ketidakpastian untuk sebuah persentasi kepercayaan, jika hasil nya adalah 0 maka statment itu tidak dapat dipercaya dan segala alasan akan ditepis serta tidak berlaku, jika itu angka 1 maka semua alasan akan dapat diterima dan kejelasan akan sebuah statment menjadi nyata. Ah SUDAHLAH aku terlalu berhitung untuk kali ini! 

jika bertemu dengan indri adalah sebuah obat dengan nilai ketidakpastiaan nya 1, maka logikaku sudah terkalah-kan dengan perasaan. namun segala alasan yang akan keluar dari mulut dia akan berubah menjadi senjata yang mematikan serta semua alasan dapat aku terima, walaupun itu sangat terpaksa dan sedikit diluar logika.

badan gempal ini kemudian tergerak berdiri mengangkat satu persatu barang yang akan di bawa, di bawa menjauhi dan menempati tempat yang baru lagi, berpindah ketempat yang setidaknya membuat aku mencari nafas lagi untuk bertemu dengan apapun yang bisa mengalihkan hitungan konyol tentang logika yang jelas-jelas terpercaya namun aku selalu ragu dengan-nya.
jika semua akan berpindah pada waktunya kenapa saat ini sudah saat nya berpindah namun hati tetap sama belum bisa berpindah.

aku mulai mengunci pintu kostn yang sudah terlalu lapuk ini,
kreeeeekkkkk..... crek...crek....
dua kali terkunci dan sedikit memastikan terkunci dengan menggerakkan batang pintu agar aku sudah yakin untuk berpindah.

kunci sudah kuserahkan kembali kepada sang mpu kostan, wanita tua yang super galak disaat bulan baru itu masih terlihat agak sedikit cemberut karena dalam beberapa bulan kedapan rumahnya yang bisa menjadi ladang penghasilannya akan mendadak sepi dan tak berpenghuni, suara gemeriuh berisik dan pakain yang tergantung setiap hari dijemuran akan mendadak hilang.

aku mulai berpamitan dengan tetangga dekat kostan bahkan ibu warung makan yang biasa menjadi tempat berhutang kami ketika tanggal sudah mulai menua. aku adalah jejak terkahir yang menjauhi rumah tua itu, berjalan setap demi setapak menuruni tangga dan gang sempit menuju jalan raya untuk menuju ke terminal dan lanjut kebandara serta itu berpindah kembali merantau ditempat yang baru.

sesampainya di bus, aku sesekali menengok handphone memastikan bahwa dia sudah tidak ada dan sudah hilang. beranjak duduk dalam bus yang akan membawaku kebandara, berdiam melamun sesekali menengok jendela dan menarik nafas menghirup udara bogor yang akan aku tinggalkan dan entah kapan aku akan merasakan udara sesejuk ini walaupun terkadang panas juga datang disini.

bus pun sudah mulai melaju, kondektur yang berpakaian batik itu sudah mulai berdiri dan menarik ongkos sembari menanyakan maskapai apa yang akan dituju oleh penumpang satu-satu.
haru ini menyelimuti sore ini, mungkin rasa nyaman dan rasa perpisahan itu agak menyakitkan setidaknya pandangan disetiap jalan bogor ini begitu membuat diri ini akan merindukannya.

rasa kantuk sudah mulai mengahmpiri namun dering handphone ini mengagetkanku dan setelah kutengok muncul nama orang yang sedari kemarin bahkan sudah lama tidak ada kabar hadir datang dalam frekwensi dan membuka mata. aku masih ragu akan menganggkat telpon darinya, namun dilain sisi aku sangat ingin bertemu dengan dia. apapun konsekwensinya aku harus tetap menghargainya, walaupun sering kali perlakuan berbeda sering aku dapatkan. 

"assalamualaikum...... sudah berangkat ya?"

sapaan dari ujung telpon itu terlihat sedih berat, entah apa yang membuat dia begitu terlihat berat ini, terasa ada yang ditahan, tapi entahlah, aku hanya takut berhipotesis.

"waalaikumsalam, iya na....."

sahutku seolah tidak ada apa-apa, bahkan aku kali ini masih berpura-pura untuk tetap tidak ada apa-apa serta melebarkan senyum sekalipun tidak terlohat karena hanya suara yang terdengar.

"aku sudah ada di bandara ya, aku tunggu kamu di cafe nyonya tua ya cid"

lagi-lagi apapun tindakan dia selalu berhasil mengalihkan pemikiran kan dan menghancurkan semua hipotesis ku. ini begitu membunuh.

"loh, kok udah disana? ada apa?

aku masih penasaran, senyumnya aja sudah membuatku gila sekarang malah tindakan seperti ini dilalukukan olehnya.

"udah jangan banyak tanya dulum simpen semua pertanyaannya buat disini nanti. pokoknya aku tunggu ya, kamu udah di bus kan menuju bandara?"

aku pun masih tak percaya dan meng-iya-kan apapun itu.

perjalanan sore ini memang benar-benar menuju dan menjemput senja. perjalanan menuju bandara sekaligus perjalanan akan jawaban kata yang pernah dia lontarkan sebulum dia akhirnya tiba-tiba menghilang dan tidak ada kabar sedikit pun. begitu mendebarkan,

sudah kususun banyak pertanyaan yang akan aku lontarkan untuk dia, begitu banyak hitungan yang akan keluar namun tetap aku selalu terpaku pada satu titik ketidakpastian karena semua yang dia lakukan sudah benar-benar menghancurkan logika ku, bukan menjadi haru perjalanan menuju kebandara namun semua berubah dengan suara manis wanita yang sudah aku tunggu, suara wanita yang selalu membiarkan aku berhitung dan bermain logika dan akhirnya angka ketidakpastiaan 0 keluar dengan semua alasan dan dia adalah harga mutlak yang benar dan mudah aku percaya.

**

bandara sore itu, masih tak jauh dari ashar. aku turun dari bandara, walaupun tiket keberangkatan ku mengalami penundaan jadwal hingga malam nanti namun ini masih sangat lama untuk masuk dalam tempat boarding.

aku berjalan dengan mendorong beberapa koper dan travel bag dalam kereta dorong menuju cafe yang sudah kami janjikan untuk bertemu. tidak begitu jauh dengan terminal bandara tempat aku turun tadi.

cafe dengan interior tua dan bernuasa merah putih itu terlihat tidak terlalu mencolok dan jauh dari kesan mewah yang biasanya aksen mewah selalu hadir dalam setiap cafe yang ada dibandara.

wanita berhijab coklat itu sudah duduk disana, sendirian. aku kenal dia, dia adalah indri. aku perlahan menghampiri diam-diam, memelankan langkah kaki ku.

ketika dia mulai menyadari akan keberadaan ku dia pun menoleh dan mata nya masih terlihat agak sedikit sembam seperti orang yang baru saja menangis.

"haloo... sudah lama ?"

aku tersenyum dan kembali berpura-pura tegar untuk menutupi gundah dan rinduku kepadanya.
dia masih terlihat cantik dan aku masih merasakan hal yang sama. tak berubah walaupun sudah sangat kecewa dengannya.

dia kemudian berdiri dan aku mendekat, dia kemudian makin mendekat dan kemudian dia memelukku begitu erat.

aku masih belum percaya dengan adegan ini. cafe yang terlihat sepi dari pengunjung.

pelukannya begitu erat.

tapi aku masih belum membalas pelukan itu.


SEE YOUU GAISS

SAMPAI JUMPA MINGGI DEPAN YA

Sabtu, 22 Agustus 2015

SORE MANIS TANPA DRAMA



credit by : agus.ultramen
Sendiri itu tenang. 
Menikmati dan melihat begitu luas. 
Rindu tentang kamu sudah aku simpan dalam. 
Aku yakin suatu saat aku akan melupakannya. 
Jika senyummu adalah anugrah maka akan ikut ku simpan bersama rindu tadi. 

Seringkali menikmati dengan sendiri. Disebuah kedai kopi sore dengan alunan music live band ini nampak begitu pas. Menyaksikan tawa dan melihat senyum disetiap meja dengan musik yang mendayu-merayu kebersamaan di setiap sore itu. Jendela kaca yang hangat dengan sinar matahari sore yang menghangatkan. begitu menghangatkan, seperti rinduku yang selalu mendayu dalam hati. ketahuilah ketika aku membayangkanmu tersenyum, aku ingin membuatmu tersenyum kembali, bersamaku, lantas aku ikut merasakan senyummu, kemudian aku bahagia. 

Beberapa penulis selalu mencoba menceritakan sore yang begitu indah dan menginspirasi. Jika itu memang indah, aku akui itu benar adanya. Setiap sore memiliki sudut keindahan masing-masing. Layaknya pagi yang selalu menyugukan embun. Maka sore selalu menyugukan ekspresi untuk menutup hari karena malam akan segera menjelang. 



Lampu-lampu yang tergantung sudah mulai menyala sayu menerangi dan menjemput gelap. Aku tau kamu masih disana melangkah mengejar apa yang seharusnya kamu kejar entah itu cinta atau cita, yang jelas kamu harus tau bahwa tak ada yang salah jika kita sudah melangkah. Jikapun salah, tuhan sudah punya sesuatu spesial didepan langkah kita selanjutnya. jika menunggu adalah sebuah reaksi maka sabar adalah satuan pasti. memang menunggu adalah proses, yang terkadang menunggu adalah pejuangan. memperjuangkan orang yang selalu ada untuk bisa selalu menjaganya, jika cinta adalah perjuangan atau perlawanan lantas kenapa selalu saja orang yang kamu cintai terkadang tak mengharapkan kamu untuk disitu menunggu. sayu lampu itu menyambut gelap, awalnya tak berarti namun ketika mentari sudah terbenam di barat, lampu sayu yang awalnya tak ada yang mengartikannya, kini begitu berarti



Ini hanya masalah prasangka. Berbaik sangkah adalah hal yang selalu terbayang dan menjadi renungan disetiap sendiri. Berbicara lewat kata setidaknya membuat aku tau bahwa setiap langkah itu butuh coretan kecil untuk sekedar menjadi hal pengingat. Jika kita tau apa yang akan terjadi kedepan tentunya kita akan selalu di hadapkan dengan hal yang bersifat menunggu. Bahkan meraih mimpi saja butuh terbangun dari kegagalan untuk berlari mengejarnya. Ketika berlari pun kita yang tau kapan kita berhenti untuk sejenak mengambil nafas dan kembali berlari. Hal-hal tersebutlah secara verbal di artikan sedikit hiperbola dan itu adalah menunggu.

Kita tidak pernah di ciptakan untuk sekedar diam tanpa bergerak. Jika hidup adalah gerak, maka bergerak ke arah mu adalah salah satu langkahku. 


sore ini memandakan sudah enam tahun tanpa lebih sedetik pun, aku disini. bertaruh dengan waktu untuk mengejar dan mencermati lembar-demi lembar materi kehidupan menjadi perantau. Bogor. sudah enam tahun menapakkan kaki ini disini. bersama sahabat-sahabat yang baru saja menghengkangkan kaki nya dari rumah jelek yang penuh kenangan bahkan terkadang disinggahi kecoa ataupun tikus yang besarnya mirip kucing kampung. 

tawa dan canda mereka kini hilang, mereka memulai hidup baru mereka masing-masing. mereka sekarang lebih realistis. Kertas ajaib itu yang kita dapat dari lembar-lembar materi yang kita pelajari dan cermati setiap malam dengan pencahayaan yang redup di kota hujan ini membuat kami melangkah bermodal harapan baru. harapan untuk sukses di dunia baru ini. sore ini akan menjadikan aku penghuni terakhir di rumah sewa jelek ini. rumah yang berladang kecil yang terkadang kita manfaatkan untuk menanam cabe dan ilalang liar yang menjulang tinggi menutup pemandangan pemakaman yang tepat di sebelah ladang kami. 

suara adzan ashar yang berkumandang menutup tawa canda kami di rumah jelek ini. sore ini bogor begitu melankolis, para ambius penghuni rumah jelek bernama al-hikmah ini akan menyambut dunia dengan genggaman mimpi yang masih begitu panas membara terkepal ditangan seolah ingin dilepas. kami ber-lima orang al-hikma camp, turun temurun menghuni rumah jelek ini dan kami adalah generasi terakhir di rumah ini, karena sudah tidak ada lagi yang mau menghuni rumah ini yang letaknya tidak strategis melewati 45 anak tangga. oh ini bukan strategis ini hanya rumah yang tidak menerima penghuni manja. 

kami selalu dikecewakan dengan harapan, harapan akan cinta. cinta yang membuat kata kerja menunggu itu membuat setiap dari kami hampir terjatuh dan tersungkur begitu dalam hingga mau tidak mau satu sama lain saling menguatkan dan menghibur jika salah satu dari kami kecewa terkadang terlalu mendramatisir kekecewaan akan cinta itu. tapi satu hal yang selalu kami percaya bahwa harapan itu membuat kita kuat dan hidup hingga tertawa bersama menertawakan cinta yang selalu tidak pernah bersikap manis kepada kami penghuni al-hikmah. 

malam tadi kami berdiskusi kecil di ruang tamu dengan jendela terbuka dan beberapa kasur yang sudah kami atur sengaja untuk malam ini tidur bersama bercerita menutup perjuangan kami di kota hujan. 

kami hanya bercerita saja, mengevaluasi setiap awal dan perjalanan kami yang begitu indah. seperti biasa sarung busuk kami selalu menghiasi setiap diskusi dari malam kemalam jika memang ada yang harus didiskusikan. kita yang biasa berdebat masalah jumlah taguhan air dan listrik yang selalu menunggak, kini kami berdiskusi tenang dengan angin malam bogor waktu itu yang sangat dingin. ruangan kami begitu hangat degan diskusi kecil ini. menceritakan mimpi dan tujuan kedepan kami yang seolah nyata, benar-benar nyata seakan mimpi itu sudah ada didepan mata. 

kami semua laki-laki yang selalu tak bersahabat dengan senyuman cinta dari lawan jenis kami, selalu saja ada cara yang menyelamatkan kami dari kejelekan cinta itu.

pembicaraan kami pun sudah mulai random dengan ciri khas tawa canda yang mulai menggema di ruang tamu ini. kami tertawa lepas menertawakan setiap kisah kami. itu malam tadi yang sudah berlalu. pelukan hangat satu persatu dari kami membuka pagi kami. satu persatu saling tolong menolong mengantar dan berebut membawa barang bawaan nyang harus kami bawa ke tempat baru. ke terminal lanjut stasiun lanjut ke perempatan deket batas kota melangkah satu persatu hingga tak terlihat dengan janji akan bertemu kembali dan bercerita kisah masing-masing. 

pagi tadi aku masih bersama erfan yang sedang asik bersiap untuk kembali ke tanggerang dengan motor bebek yang tak termakan zaman. 

kemudian pertanyaan itu datang. 

"boy gimana indri? udah diselesaikan belum?"

pertanyaan erfan itu membuat sedikit drama itu bermain dalam pikiran.

"udah lah boy, nih minum kopi... "
belum sempat aku menjawab pertanyaan tadi erfan sudah menyeduhkan kopi terakhir persediaan terakhir dapur kami. semua mengetahui bahwa aku begitu menyukai kopi. karena kopi yang membuat kisahku dengan masalalu. kopi yang membuat deretan cerita yang selalu membuat mereka menertawakan. karena kami selalu tau cara menanyakan dan menertawakan cerita dengan cara kami sendiri.

sekarang aku masih termenung, memikirkan sebuah nama yang begitu lama membuat kisah ini terhenti dan aku tak mau melangkah jauh lagi, jauh meninggalkan dia. beberapa tahun lalu uty yang meninggalkan kisah persahabatan yang dibuahi oleh cinta telah pergi jauh. bukan karena kesepakatan satu pihak tapi ini tanpa kesepakan dengan mempertaruhkan mimpi kami masing-masing. sekarang indri yang bagaikan mimpiku sehingga aku tidak mau bangun dan aku inginkan dia dengan menunggu.

"udahlah boy, lo harus selesaikan ini boy. lo bentar lagi kan ke makassar, masa lo lagi-lagi pergi tanpa dan jauh tanpa kejelasan."

aku masih menikmati kopi hitam buatan erfan tadi sembari melihat dia yang sibuk menceramahi aku dengan kegiatan nya merapikan semua buku dan bajunya ke dalam tas carielnya.
cerita ku dan indri seakan koma, semenjak kelulusan ku beberapa hari lalu, kami kehilngan kontak saling diam bahkan tak tahu membuat titik dibagian mana.

besok adalah hari keberangkatanku ke makassar, kota ratauan baruku, sekaligus kota yang selalu di dambakan kami dalam acara ilmiah waktu tahun lalu yang tidak bisa kami hadiri. besok tanah bugis aku menjadi alas tidurku dan tempat memupuk mimpi ku.

aku masih belum bisa bertemu dengan indri. entah apapun itu halangannya, yang jelas selalu ada. namun aku setidaknya mulai sadar bahwa sesuatu yang ditunggu itu mebuat waktu kita berarti dan dengan menunggu kita menyelamatkan kita dari sesuatu yang sifatnya tergesa-gesa,

kopi ini sudah mulai kelihatan ampasnya. sudah beberapa menit aku memandangi erfan yang sibuk dengan cerielnya. aku masih belum tau hatus menunggu hingga berapa lama, kesannya aku memang sulit melangkah dari titik ini, terkadang aku membayangkan duduk didepanku dalam kedai tempat kita pertama bertemu kemudian bercerita, tangan yang sembari memegang cappoccino dingin dan bercerita begitu random tentang apapun, pandangan mata yang tertuju ke mata mu yang sedari tadi memperhatikan ceritaku, kemudian aku tersenyum walaupun gula cair manis itu masih belum kutumpahkan dalam bejana dingin caffein ini, melihat mu tersenyum. Tersenyum dan kemudian aku terseyum.

ini sudah sore, pelukan terakhir erfan dan serah terima kunci gandaan yang terakhir ini membuat sekarang aku tersenyum bahagia, bahkan pertanyaan erfan tadi masih belum aku jawab hingga hari sesore ini.

"semangat boy, ingen jangan menyerah dan jangan lupa tertawa" kemudian erfan pergi dengan motor bebeknya.

aku mulai masuk menata semua barang bawaan yang akan ku bawa ke makassar. memandangi setiap sudut ruangan yang sudah berjasa atas kami hingga saat ini. semua dinding itu kosong, lukisan-lukisan dan kaligrafi dipta teman sekamarku sudah tidak ada. tersisa papan tulis diskusi yang kami buat dari bekas selotip kegiatan kampus.

memandangi handphone kemudian aku ketik beberapa kalimat yang hendak aku kirim ke indri,

jika memang sore ini begitu dramatis, aku yakin kamu disana merasakan hal yang sama, setidaknya kita masih belum dalam belahan waktu yang berbeda, tapi alangkah baiknya jika aku berpamit kepadamu, aku menaruh semua harapan yang kamu berikan, aku titipkan dan bungkuss rapi harapan itu kepada pesan ini, memang pesan ini akan terhapus setidaknya aku berharap kenangan kita tidak akan terhapus walaupun sore akan segera berakhir dan malam selalu menjadi pengahapus sore. setidaknnya kita pernah dalam sore yang sama bercerita kemudian tersenyum. 

pesan itu akupun kirim ke indri, aku hanya berharap besok siang keberangkatan ku ke makassar masih bertemu dengan senyum nya dengan beberapa jawaban yang aku pertanyakan semenjak kelulusanku waktu itu..

bersambung......

Tunggu Minggu Depan ya Gais.... :)

Sabtu, 15 Agustus 2015

AKU BUKAN WANITA JALANG (2)


Dia mengajakku bertemu. Ini bagian yang paling aku benci. Aku tak mau orang yang aku sukai kabur hanya karena melihat fisikku. Aku sudah bilang, aku tak cantik, aku tak sexy. Aku bingung. Harus bagaimana aku menjelaskan. Mau tidak mau aku harus jujur. Jika tidak, dia akan jauh lebih kecewa. Ada dua resiko yang harus aku terima. Aku akan sendiri karena kekecewaannya, atau aku akan malu karena fisikku sendiri. Ya!! Aku harus tegas! Aku akan mengatakan saja ini padanya. Aku akan telpon dia malam ini juga.
***
Malam ini aku berias ke salon, kali ini aku tak ingin tampil dengan rambut palsu atau rok mini. Kali ini aku ingin tampil apa adanya aku. Aku pakai kaos oblong, celana press body, sneackers, kaca mata frame kotak, dan small bag Polo Sport. Aku menunggu dia di sudut taman di tengah kota Bung Tomo ini. Aku nervous. Aku takut.
‘Brung!! Brung!!’ suara motornya mengagetkan jantungku. Dia tampak gagah dengan motor berbody GeDe itu. Aku tahu itu harganya tak semurah motorku. Untung saja kali ini aku naik angkot, jadi aku tak malu ketahuan punya motor yang lebih murah.
Saat ia melepas helm nya, aku sudah jatuh cinta pada parfumnya. Aduhaiii segar sekali. Saat dia melepas jacket kulitnya, aku jatuh cinta pada bajunya. Aduhaiiii rapinya. Ia acak rambutnya dan ia pakai kacamata hitam, berjalan menuju ayunan yang aku duduki. Tampaknya ia sudah tahu aku dari facebookku.
“Hai, Riko ya?”
“Iya mas,” jawabku gugup dan gemetar. Bagaimana mungkin aku bisa kenal dia. Ganteng sekali.
“Sudah lama?”
“Iya, 30 menit.”
“Hahaha, maaf ya!”
“Iya, ndak papa, macet ya?”
“Ah biasa, ada meeting dulu tadi”
“Sudah makan?”
“Sudah , mas!”
“Hei, biasa saja, jangan tegang! Yahh kamu koq sudah makan sih”
“Mas belum?”
“Belum, tapi nggakpapa, ayo maen ke rumahku aja. Gak papa kan?”
“Ehmm..rumah mas dimana?”
“Dekat kok, nanti pulangnya aku antar.”
“ohhh i...i...iya.” aku gemetaran, aku tidak pernah diajak ke rumah cowok. Kali ini malah aku yang terlihat bodoh. Sejuta lelaki hanya dia yang buat aku nervous.
Kami lanjut perkenalan kami di rumahnya, hingga saat itu tiba.
***
Tak sekali aku melakukan hal itu dengan lelaki sejenisku. Aku bodoh yang menikmati itu sebagai pemenuhan kebutuhanku. Aku suka sekali gonta-ganti pasangan. Aku bodoh, dan aku tak tahu resiko apa yang akan aku terima. Kini aku sudah menanggung malu. Aku dapatkan akibat yang tak bisa terhapuskan. Aku tak tahu, lelaki mana yang telah menulari aku penyakit ini.
Kehidupanku sungguh sangat singkat setelah ini. Aku tidak boleh kelelahan. Aku tak boleh sedih. Aku harus sehat dan bahagia. Sedangkan aku bukan tipe orang yang mudah bahagia. Aku tipe orang yang gampang merenungi kesalahan. Ini mungkin sebuah karma.
Penyakit ini ku dapati sejak bulan Juli lalu. Saat seorang teman mengajakku test HIV AIDS. Aku adalah teman yang selalu menolak untuk ditest. Bukan karena aku takut atau tak mau, tapi karena jadwal sekolah dan ekstraku yang padat, membuat aku tak punya waktu untuk keluar bersama mereka. Saat tengah bulan Juli itu pengumuman hasil test kuterima.
Aku tak tahu angin apa yang merasuk ke rongga-rongga kepalaku. Saat aku dinyatakan posistif HIV, aku hanya terdiam. Aku tak bisa berfikir apapun. Bahkan aku tak menangis sedikitpun. Aku terdiam. Menunggu kesadaran ini menyusul kebodohanku.
Aku pulang dengan kelinglungan. Hasil ini ku simpan rapat-rapat di dalam tas kotak Polo Sportku. Aku tak tahu pada siapa aku mengeluh. Ini sebuah kebodohan tingkat dewa. Ini sebuah kecelakaan besar. Rasanya seperti menangung malu kehamilan diluar nikah. Aku malu semalu-malunya. Aku juga takut setakut-takutnya.
AIDS kan penyakit yang setahuku belum ada obatnya. Penyakit yang setahuku menggerogoti imunitas tubuh penderitanya. Penyakit yang akan membuatku semakin lemah dan lemah. Penyakit yang membuat aku terisolasi dari lingkunganku. Penyakit yang akan membuat ayah ibuku malu. Penyakit yang akan mengeluarkanku dari lingkungan rumahku. Penyakit yang...hhhh..aku menjijikkan, aku bodoh, aku menyesal.
Terima kasih Tuhan, terima kasih.
Inikah karma Mu?
Inikah hukuman Mu?
Aku akan mengatakan ini kepada ayah ibu dan semua keluargaku.
***
Kini aku benar-benar terisolasi dari lingkungan sekitarku. Banyak dari mereka yang belum sadar. Penyakitku ini tak mudah menular. Penyakitku ini tak seperti influenza yang dengan mudah menyerang. Tapi orang-orang sekitarku masih ada yang jijik terhadapku. Wajar saja, aku lelaki jalang. Aku mungkin sudah tak suci lagi. Aku mungkin dianggap durhaka dan laknat. Sedikit sekali yang menganggap aku wanita. Sedikit sekali yang membiarkanku jadi wanita. Mereka sudah terlanjur jijik padaku.
Ini yang aku takutkan dari hidupku. Ketika aku tak boleh berduka, ketika aku harus bahagia. Tapi lingkunganku tak pernah sedikitpun membantuku. Aku terdiskriminasi. Bagaimana aku bisa bahagia? Aku terisolasi. Bagaimana aku tak berduka?
Hidup dan matiku, aku yang menentukan, walau Tuhan punya andil besar. Cepat atau lambatnya, aku yang memperjuangkan. Aku harus berusaha bangkit. Aku harus berusaha bahagia, berbagi, dan memperkecil resiko kematian. Aku berikan hidupku hanya untuk berbagi pengetahuan. Aku berbagi cerita. Jangan sampai kebodohan ini terulang. Jangan sampai orang lain merasakan pahitnya cacian, pedasnya olokan, dan sakitnya ketakutan.
Hidupku untuk Mu, Tuhan!


E K


Minggu, 09 Agustus 2015

Bukan Wanita Jalang

beberapa waktu lalu team slowboy mendapat kiriman cerita dan ilustrasi foto dan seorang sahabat yang memberikan sebuah cerita unik dari sebuah penelitian observatif kecil yang dilakukan olehnya. dan sebagai apresiasi maka kami menampil kan dalam blog untuk cerita mingguan minggu ini. baca gaes
Aku Bukan Wanita Jalang
credit by : jio_reaper photograph
Oleh:
E K
Aku gadis berusia 17 tahun. Wajahku sederhana, kalem, dan lembut. Mungkin orang-orang tak menyebutku cantik, tapi manis. Ya itulah yang mereka katakan padaku. Rambutku mudah goyah sebahu. Tubuhku tak besar, kurus, dan sexy. Yang paling aku senangi adalah bagian betisku. Aku terlihat sexy dengan mini dressku dan highheels cokelat. Namaku Rika. Aku siswa SMK Pembangunan. Aku tidak suka sekolahku. Aku sudah malas sekolah. Capek! Lagian aku juga tak pernah nyambung dengan pelajaran-pelajaran itu. Otakku tak kuat kalau harus menghitung panjang dan lebar bangunan-bangunan khayal. Tapi, di sisi lain, aku suka ektrakurikulerku. Aku aktif ikut kegiatan di luar kelas. Menurutku hidup itu harus berkarya sesuai dengan keinginan kita. Manusia bisa kok hidup tanpa keformalan bangku sekolah. Tapi, bagaimana lagi, tuntutan zaman telah mengubah pola pikir zaman neolitikum menjadi sebuah zaman modern dengan penjualan ijazah. Untung saja sekolah ku sekolah Negeri. Jadi, sebodoh-bodohnya aku, aku tak membeli ijazah.

Ngomong soal ijazah, aku jadi ingat sertifikat baru yang aku punya. 
Hari ini akan aku pamerkan ke teman baruku. Kak Ratna, dia seorang Psikolog muda yang cantik dan sexy. Meski ia wanita berjilbab, tapi model bajunya tak kalah gaulnya dengan kita-kita. Hari ini hari Senin. Aku sudah ada janji untuk curhat dengan Kak Ratna di Rumah makan cepat saji dekat kampusnya. Kebetulan, kampus Kak Ratna dekat dengan sekolahku. Yaa mungkin jaraknya 1 Km.
Pulang sekolah adalah saat yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah tidak betah dengan angka-angka yang tak sopannya masuk secara paksa lewat telinga kananku. Saat pulang aku biasa membuang tumpukan angka-angka ini di sampah lewat telinga kiriku. Untuk menghilangkan penat ini, aku ikut ekstra PMR. Aku suka menolong orang, aku suka berbagi pengalaman, dan aku suka ikut kompetisi-kompetisinya. Alhamdulillah sertifikat yang aku maksud tadi adalah sertifikat juara umum dalam salah satu perlombaan extra PMR di kota Telo.

Akhir-akhir ini aku akan sibuk mondar-mandir kota bekas Kerajaan Majapahit. Aku akan berbagi cerita dan pengalaman hidupku. Aku memang bukan orang penting. Aku juga bukan anak pejabat yang mempunyai modal berbicara. Aku hanya anak-anak yang masih belia dan suka manja. Aku sama seperti mereka yang juga masih pakai seragam sekolah. Tapi aku beda. Sangat berbeda.

Mereka bilang aku gila. Iya!
Mereka bilang aku aneh. Iya!
Mereka bilang aku bencong. Tidak! Salah!
Aku wanita!
Meski aku belum tua, tapi aku yakin, aku lebih dewasa dari Kak Ratna.

Hidupku kini sunyi, dulu aku pecinta lelaki. Aku suka membuat mereka nyaman di dekatku. Tapi tak semua lelaki mau denganku. Mungkin hanya 30 persen di dunia ini yang mau dengan sesamanya. Secara fisik aku memang tak cantik. Tapi aku bisa membuat mereka tunduk di tanganku. Diantara teman-temanku, aku yang paling elegan, bermoral, dan setia. Aku tidak sombong, ini kebenaran. Kebenaran yang orang lain sama ratakan dengan kebohongan.

Aku baru di dunia ini, dunia yang sebenarnya sudah lama aku sadari. Aku juga tahu resiko-resiko masuk di dunia ini. Aku sadar, aku telah dewasa, aku harus berani menanggung resiko-resiko masuk ke era ini. Saat gadis-gadis tumbuh besar payudaranya, yang tumbuh besar di aku adalah jakunku. Saat gadis-gadis mulai masuk masa menstruasi, aku mimpi basah. Saat gadis-gadis mulai mengenakan BH, aku juga bisa pakai benda lucu dan imut itu. Ini kebenaran yang harus aku katakan pada siapapun itu. Hidupku tak sempurna mereka, aku tersesat di tubuh Riko. Tubuh yang dulu pernah aku banggakan kini aku sesali. Harusnya aku bisa keluar dari sini, tapi rasio tak bisa menyelesaikan masalah ini. Mungkin aku harus mengubah rasional menjadi tidak rasional.

Sejak umur lima tahun aku suka mengenakan rok, selendang, dan lipstick. Entah sudah bawaan kali. Kini aku memberanikan diri untuk menunjukkan jati diri. Hobiku sedikit berubah. Aku lebih suka keluar malam dengan baju mini dan sepatu hak tinggi. Aku mulai serius ingin mencintai lelaki. Sampai saat itu tiba.
***
Aku mulai merasa hari-hariku membosankan tanpa kekasih. Aku mengacak nomor yang ada di handphone untuk mencari teman. Acakan pertama, ku tekan nomor berdasarkan tanggal lahirku, tapi ahh...gagal, yang mengangkat bukan tipeku. Acakan kedua, nomor absensiku. Tapi gagal lagi. Itu juga bukan tipeku.

“Kali ini nggak boleh gagal!!” gumamku geram. Takut pulsaku keburu habis. Ku tekan nomor berdasarkan tanggal hari ini.

“08528042012”  Ku tekan tombol-tombol handphone pintarku. Eitss.. ada nada dering lagu Peterpan yang judulnya ‘Ku Katakan Dengan Indah’. Senang sekali mendengarnya, aku terbawa lagu ini. Aku menikmati setiap desah nafas Ariel, vocalisnya. Kebetulan sekali pemiliknya tak segera mengangkat telponku. Ku ulang lagi, dan lagi. Gerak tubuhku mengikuti suara drum Peterpan, tak sadar aku sedang menelpon.

“Hallo!” serontak suara Ariel berubah jadi suara berat lelaki. Aku kaget dan belum siap untuk menjawab. Suaranya menggetarkan jantungku.
“Hallo!” tegasnya lagi. Aku masih gugup dan tak tahu apa yang harus ku jawab.aku bingung harus ngomong apa?
“Hallo !!!” suaranya semakin keras dan semakin membuat aku takut. Dengan paksa aku jawab.
“Iya, hallo, Toni, kamu apa kabar?” celetukku tak terkontrol. Aku bingung mau ngomong apa.
“Toni? Maaf ini Tedy, bukan Toni. Anda salah sambung mbak!” lembut suara dan kesopanannya membuat hati ini makin bergetar dan salah tingkah. Aku ada ide untuk memperpanjang percakapan ini.
“Lho ini nomor yang Toni kasih ke aku kok!” padahal aku juga tak tahu Toni itu anak siapa. Hahahaha... aku ngawur aja sebut nama.
“Mbak, saya ini Tedy, saya sudah pakai nomor ini sejak enam tahun yang lalu.” Jelasnya sopan. Dia memanggilku ‘mbak’ pula. Sudah selembut itukah suaraku. Apa jakun ini sudah benar-benar lemas, hingga dia memanggilku ‘mbak’.
“Tapi mas, beneran Toni ngasih aku nomor ini.” Aku berusaha ngeyel untuk memperpanjang percakapan dan menarik simpatinya.
“Mbak, memang Toni siapa yang mbak maksud? Toni Sailendra kah? Atau Toni Hermawan?” dia menyebutkan nama orang yang satupun aku juga tak tahu siapa itu.
“Toni Ramadhan” jawabku ngawur.
“Siapa itu ya? Teman-temanku memang kadang usil, mbak! Tak jarang mereka ngasih nomor handphone saya ke wanita-wanita jalan.”
“Heh, tapi aku bukan wanita jalan ya!” aku marah, dan ku tutup telponnya. Siapa juga yang suka di sama-sama kan dengan wanita jalang.
Handphone ku berdering. Ku lihta nomor itu kembali menelponku. Aku tak menyangka dia akan menelpon kembali. Segera ku angkat telponnya.

“Hallo” jawabku marah.
“Mbak, saya minta maaf kalau kata-kata saya tadi menyinggung atau menyakiti.”
“Hm..OK!” jawabku sadis.
“Tapi ngomong-ngomong, Toni bilang apa sama mbak?” busyeet, aku kena batunya, aku harus jawab apa ini soal Toni. Tak mungkin aku bilang aku yang bohong. Atau dia akan mengatakan aku jalang juga.
“Sudahlah mas, ndak papa, saya juga malas ngomong soal Toni.” Aku ngeles.
“Oh gitu, ya sudah, maafkan teman saya yang jahil ya!” jawabnya sopan. Suaranya berat sekali. Sepertinya dia agak sedikit gendut atau cowok cool. Aku suka suaranya.

Perkenalan itu berlanjut sampai satu bulan. Kami nyaman dengan telpon dan SMS. Dia tidak tahu kalau aku berbeda dari gadis-gadis yang lain. Tapi aku juga tak tahu juga, apakah dia sadar suaraku sedikit berat dan berbeda dengan yang lain. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keisenganku dengan dia.
Cerita ini kemudian naik hingga saling curhat. Aku juga merasa dia nyaman dengan aku. Dia selalu perhatian denganku. Aku senang juga memperhatikan dia. Tak jarang aku mengingatkan dia untuk makan tepat waktu. Dia lelaki pekerja keras yang kerja di hotel bintang tiga. Dia bekerja di bagian manajer roomboys. Dia menunjukkan fotonya di Facebook. Ku lihat dia lelaki aktif dengan dikelilingi sejuta cowok-cowok ganteng. Badannya six packs, tinggi, putih, dan ganteng.


Dia mengajakku bertemu. Ini bagian yang paling aku benci. Aku tak mau orang yang aku sukai kabur hanya karena melihat fisikku. Aku sudah bilang, aku tak cantik, aku tak sexy. Aku bingung. Harus bagaimana aku menjelaskan. Mau tidak mau aku harus jujur. Jika tidak, dia akan jauh lebih kecewa. Ada dua resiko yang harus aku terima. Aku akan sendiri karena kekecewaannya, atau aku akan malu karena fisikku sendiri. Ya!! Aku harus tegas! Aku akan mengatakan saja ini padanya. Aku akan telpon dia malam ini juga.

yuk tunggu lanjutan ceritanya minggu depan gais....