Dia mengajakku bertemu. Ini bagian
yang paling aku benci. Aku tak mau orang yang aku sukai
kabur hanya karena melihat fisikku. Aku sudah bilang, aku tak cantik, aku tak
sexy. Aku bingung. Harus bagaimana aku menjelaskan. Mau tidak mau aku harus
jujur. Jika tidak, dia akan jauh lebih kecewa. Ada dua resiko yang harus aku
terima. Aku akan sendiri karena kekecewaannya, atau aku akan malu karena
fisikku sendiri. Ya!! Aku harus tegas! Aku akan mengatakan saja ini padanya.
Aku akan telpon dia malam ini juga.
***
Malam ini aku berias ke salon, kali ini aku tak ingin tampil
dengan rambut palsu atau rok mini. Kali ini aku ingin tampil apa adanya aku.
Aku pakai kaos oblong, celana press body, sneackers, kaca mata frame kotak, dan
small bag Polo Sport. Aku menunggu
dia di sudut taman di tengah kota Bung Tomo ini. Aku nervous. Aku takut.
‘Brung!! Brung!!’ suara motornya mengagetkan jantungku.
Dia tampak gagah dengan motor berbody GeDe itu. Aku tahu itu harganya tak
semurah motorku. Untung saja kali ini aku naik angkot, jadi aku tak malu
ketahuan punya motor yang lebih murah.
Saat ia melepas helm nya, aku sudah jatuh cinta pada
parfumnya. Aduhaiii segar sekali. Saat dia melepas jacket kulitnya, aku jatuh
cinta pada bajunya. Aduhaiiii rapinya. Ia acak rambutnya dan ia pakai kacamata
hitam, berjalan menuju ayunan yang aku duduki. Tampaknya ia sudah tahu aku dari
facebookku.
“Hai, Riko ya?”
“Iya mas,” jawabku gugup dan gemetar. Bagaimana mungkin
aku bisa kenal dia. Ganteng sekali.
“Sudah lama?”
“Iya, 30 menit.”
“Hahaha, maaf ya!”
“Iya, ndak papa, macet ya?”
“Ah biasa, ada meeting dulu tadi”
“Sudah makan?”
“Sudah , mas!”
“Hei, biasa saja, jangan tegang! Yahh kamu koq sudah
makan sih”
“Mas belum?”
“Belum, tapi nggakpapa, ayo maen ke rumahku aja. Gak papa
kan?”
“Ehmm..rumah mas dimana?”
“Dekat kok, nanti pulangnya aku antar.”
“ohhh i...i...iya.” aku gemetaran, aku tidak pernah
diajak ke rumah cowok. Kali ini malah aku yang terlihat bodoh. Sejuta lelaki
hanya dia yang buat aku nervous.
Kami lanjut perkenalan kami di rumahnya, hingga saat itu
tiba.
***
Tak sekali aku melakukan hal itu dengan lelaki sejenisku.
Aku bodoh yang menikmati itu sebagai pemenuhan kebutuhanku. Aku suka sekali gonta-ganti
pasangan. Aku bodoh, dan aku tak tahu resiko apa yang akan aku terima. Kini aku
sudah menanggung malu. Aku dapatkan akibat yang tak bisa terhapuskan. Aku tak
tahu, lelaki mana yang telah menulari aku penyakit ini.
Kehidupanku sungguh sangat singkat setelah ini. Aku tidak
boleh kelelahan. Aku tak boleh sedih. Aku harus sehat dan bahagia. Sedangkan
aku bukan tipe orang yang mudah bahagia. Aku tipe orang yang gampang merenungi
kesalahan. Ini mungkin sebuah karma.
Penyakit ini ku dapati sejak bulan Juli lalu. Saat
seorang teman mengajakku test HIV AIDS. Aku adalah teman yang selalu menolak
untuk ditest. Bukan karena aku takut atau tak mau, tapi karena jadwal sekolah
dan ekstraku yang padat, membuat aku tak punya waktu untuk keluar bersama
mereka. Saat tengah bulan Juli itu pengumuman hasil test kuterima.
Aku tak tahu angin apa yang merasuk ke rongga-rongga kepalaku. Saat aku dinyatakan posistif HIV, aku
hanya terdiam. Aku tak bisa berfikir apapun. Bahkan aku tak menangis sedikitpun. Aku terdiam.
Menunggu kesadaran ini menyusul kebodohanku.
Aku pulang dengan kelinglungan. Hasil ini ku simpan
rapat-rapat di dalam tas kotak Polo Sportku. Aku tak tahu pada siapa aku
mengeluh. Ini sebuah kebodohan tingkat dewa. Ini sebuah kecelakaan besar.
Rasanya seperti menangung malu kehamilan diluar nikah. Aku malu semalu-malunya.
Aku juga takut setakut-takutnya.
AIDS kan penyakit yang setahuku belum ada obatnya.
Penyakit yang setahuku menggerogoti imunitas tubuh penderitanya. Penyakit yang
akan membuatku semakin lemah dan lemah. Penyakit yang membuat aku terisolasi
dari lingkunganku. Penyakit yang akan membuat ayah ibuku malu. Penyakit yang akan mengeluarkanku dari
lingkungan rumahku. Penyakit yang...hhhh..aku menjijikkan, aku bodoh, aku
menyesal.
Terima kasih Tuhan, terima kasih.
Inikah karma Mu?
Inikah hukuman Mu?
Aku akan mengatakan ini kepada ayah ibu dan semua
keluargaku.
***
Kini aku benar-benar terisolasi dari lingkungan
sekitarku. Banyak dari mereka yang belum sadar. Penyakitku ini tak mudah
menular. Penyakitku ini tak seperti influenza yang dengan mudah menyerang. Tapi orang-orang sekitarku masih ada
yang jijik terhadapku. Wajar saja, aku lelaki jalang. Aku mungkin sudah tak
suci lagi. Aku mungkin dianggap durhaka dan laknat. Sedikit sekali yang
menganggap aku wanita. Sedikit sekali yang membiarkanku jadi wanita. Mereka
sudah terlanjur jijik padaku.
Ini yang aku takutkan dari hidupku. Ketika aku tak boleh berduka,
ketika aku harus bahagia. Tapi lingkunganku tak pernah sedikitpun membantuku.
Aku terdiskriminasi. Bagaimana aku bisa bahagia? Aku terisolasi. Bagaimana aku
tak berduka?
Hidup dan matiku, aku yang menentukan, walau Tuhan punya
andil besar. Cepat atau lambatnya, aku yang memperjuangkan. Aku harus berusaha
bangkit. Aku harus berusaha bahagia, berbagi, dan memperkecil resiko kematian.
Aku berikan hidupku hanya untuk berbagi pengetahuan. Aku berbagi cerita. Jangan
sampai kebodohan ini terulang. Jangan sampai orang lain merasakan pahitnya
cacian, pedasnya olokan, dan sakitnya ketakutan.
Hidupku untuk Mu, Tuhan!
E
K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar