Minggu, 09 Agustus 2015

Bukan Wanita Jalang

beberapa waktu lalu team slowboy mendapat kiriman cerita dan ilustrasi foto dan seorang sahabat yang memberikan sebuah cerita unik dari sebuah penelitian observatif kecil yang dilakukan olehnya. dan sebagai apresiasi maka kami menampil kan dalam blog untuk cerita mingguan minggu ini. baca gaes
Aku Bukan Wanita Jalang
credit by : jio_reaper photograph
Oleh:
E K
Aku gadis berusia 17 tahun. Wajahku sederhana, kalem, dan lembut. Mungkin orang-orang tak menyebutku cantik, tapi manis. Ya itulah yang mereka katakan padaku. Rambutku mudah goyah sebahu. Tubuhku tak besar, kurus, dan sexy. Yang paling aku senangi adalah bagian betisku. Aku terlihat sexy dengan mini dressku dan highheels cokelat. Namaku Rika. Aku siswa SMK Pembangunan. Aku tidak suka sekolahku. Aku sudah malas sekolah. Capek! Lagian aku juga tak pernah nyambung dengan pelajaran-pelajaran itu. Otakku tak kuat kalau harus menghitung panjang dan lebar bangunan-bangunan khayal. Tapi, di sisi lain, aku suka ektrakurikulerku. Aku aktif ikut kegiatan di luar kelas. Menurutku hidup itu harus berkarya sesuai dengan keinginan kita. Manusia bisa kok hidup tanpa keformalan bangku sekolah. Tapi, bagaimana lagi, tuntutan zaman telah mengubah pola pikir zaman neolitikum menjadi sebuah zaman modern dengan penjualan ijazah. Untung saja sekolah ku sekolah Negeri. Jadi, sebodoh-bodohnya aku, aku tak membeli ijazah.

Ngomong soal ijazah, aku jadi ingat sertifikat baru yang aku punya. 
Hari ini akan aku pamerkan ke teman baruku. Kak Ratna, dia seorang Psikolog muda yang cantik dan sexy. Meski ia wanita berjilbab, tapi model bajunya tak kalah gaulnya dengan kita-kita. Hari ini hari Senin. Aku sudah ada janji untuk curhat dengan Kak Ratna di Rumah makan cepat saji dekat kampusnya. Kebetulan, kampus Kak Ratna dekat dengan sekolahku. Yaa mungkin jaraknya 1 Km.
Pulang sekolah adalah saat yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah tidak betah dengan angka-angka yang tak sopannya masuk secara paksa lewat telinga kananku. Saat pulang aku biasa membuang tumpukan angka-angka ini di sampah lewat telinga kiriku. Untuk menghilangkan penat ini, aku ikut ekstra PMR. Aku suka menolong orang, aku suka berbagi pengalaman, dan aku suka ikut kompetisi-kompetisinya. Alhamdulillah sertifikat yang aku maksud tadi adalah sertifikat juara umum dalam salah satu perlombaan extra PMR di kota Telo.

Akhir-akhir ini aku akan sibuk mondar-mandir kota bekas Kerajaan Majapahit. Aku akan berbagi cerita dan pengalaman hidupku. Aku memang bukan orang penting. Aku juga bukan anak pejabat yang mempunyai modal berbicara. Aku hanya anak-anak yang masih belia dan suka manja. Aku sama seperti mereka yang juga masih pakai seragam sekolah. Tapi aku beda. Sangat berbeda.

Mereka bilang aku gila. Iya!
Mereka bilang aku aneh. Iya!
Mereka bilang aku bencong. Tidak! Salah!
Aku wanita!
Meski aku belum tua, tapi aku yakin, aku lebih dewasa dari Kak Ratna.

Hidupku kini sunyi, dulu aku pecinta lelaki. Aku suka membuat mereka nyaman di dekatku. Tapi tak semua lelaki mau denganku. Mungkin hanya 30 persen di dunia ini yang mau dengan sesamanya. Secara fisik aku memang tak cantik. Tapi aku bisa membuat mereka tunduk di tanganku. Diantara teman-temanku, aku yang paling elegan, bermoral, dan setia. Aku tidak sombong, ini kebenaran. Kebenaran yang orang lain sama ratakan dengan kebohongan.

Aku baru di dunia ini, dunia yang sebenarnya sudah lama aku sadari. Aku juga tahu resiko-resiko masuk di dunia ini. Aku sadar, aku telah dewasa, aku harus berani menanggung resiko-resiko masuk ke era ini. Saat gadis-gadis tumbuh besar payudaranya, yang tumbuh besar di aku adalah jakunku. Saat gadis-gadis mulai masuk masa menstruasi, aku mimpi basah. Saat gadis-gadis mulai mengenakan BH, aku juga bisa pakai benda lucu dan imut itu. Ini kebenaran yang harus aku katakan pada siapapun itu. Hidupku tak sempurna mereka, aku tersesat di tubuh Riko. Tubuh yang dulu pernah aku banggakan kini aku sesali. Harusnya aku bisa keluar dari sini, tapi rasio tak bisa menyelesaikan masalah ini. Mungkin aku harus mengubah rasional menjadi tidak rasional.

Sejak umur lima tahun aku suka mengenakan rok, selendang, dan lipstick. Entah sudah bawaan kali. Kini aku memberanikan diri untuk menunjukkan jati diri. Hobiku sedikit berubah. Aku lebih suka keluar malam dengan baju mini dan sepatu hak tinggi. Aku mulai serius ingin mencintai lelaki. Sampai saat itu tiba.
***
Aku mulai merasa hari-hariku membosankan tanpa kekasih. Aku mengacak nomor yang ada di handphone untuk mencari teman. Acakan pertama, ku tekan nomor berdasarkan tanggal lahirku, tapi ahh...gagal, yang mengangkat bukan tipeku. Acakan kedua, nomor absensiku. Tapi gagal lagi. Itu juga bukan tipeku.

“Kali ini nggak boleh gagal!!” gumamku geram. Takut pulsaku keburu habis. Ku tekan nomor berdasarkan tanggal hari ini.

“08528042012”  Ku tekan tombol-tombol handphone pintarku. Eitss.. ada nada dering lagu Peterpan yang judulnya ‘Ku Katakan Dengan Indah’. Senang sekali mendengarnya, aku terbawa lagu ini. Aku menikmati setiap desah nafas Ariel, vocalisnya. Kebetulan sekali pemiliknya tak segera mengangkat telponku. Ku ulang lagi, dan lagi. Gerak tubuhku mengikuti suara drum Peterpan, tak sadar aku sedang menelpon.

“Hallo!” serontak suara Ariel berubah jadi suara berat lelaki. Aku kaget dan belum siap untuk menjawab. Suaranya menggetarkan jantungku.
“Hallo!” tegasnya lagi. Aku masih gugup dan tak tahu apa yang harus ku jawab.aku bingung harus ngomong apa?
“Hallo !!!” suaranya semakin keras dan semakin membuat aku takut. Dengan paksa aku jawab.
“Iya, hallo, Toni, kamu apa kabar?” celetukku tak terkontrol. Aku bingung mau ngomong apa.
“Toni? Maaf ini Tedy, bukan Toni. Anda salah sambung mbak!” lembut suara dan kesopanannya membuat hati ini makin bergetar dan salah tingkah. Aku ada ide untuk memperpanjang percakapan ini.
“Lho ini nomor yang Toni kasih ke aku kok!” padahal aku juga tak tahu Toni itu anak siapa. Hahahaha... aku ngawur aja sebut nama.
“Mbak, saya ini Tedy, saya sudah pakai nomor ini sejak enam tahun yang lalu.” Jelasnya sopan. Dia memanggilku ‘mbak’ pula. Sudah selembut itukah suaraku. Apa jakun ini sudah benar-benar lemas, hingga dia memanggilku ‘mbak’.
“Tapi mas, beneran Toni ngasih aku nomor ini.” Aku berusaha ngeyel untuk memperpanjang percakapan dan menarik simpatinya.
“Mbak, memang Toni siapa yang mbak maksud? Toni Sailendra kah? Atau Toni Hermawan?” dia menyebutkan nama orang yang satupun aku juga tak tahu siapa itu.
“Toni Ramadhan” jawabku ngawur.
“Siapa itu ya? Teman-temanku memang kadang usil, mbak! Tak jarang mereka ngasih nomor handphone saya ke wanita-wanita jalan.”
“Heh, tapi aku bukan wanita jalan ya!” aku marah, dan ku tutup telponnya. Siapa juga yang suka di sama-sama kan dengan wanita jalang.
Handphone ku berdering. Ku lihta nomor itu kembali menelponku. Aku tak menyangka dia akan menelpon kembali. Segera ku angkat telponnya.

“Hallo” jawabku marah.
“Mbak, saya minta maaf kalau kata-kata saya tadi menyinggung atau menyakiti.”
“Hm..OK!” jawabku sadis.
“Tapi ngomong-ngomong, Toni bilang apa sama mbak?” busyeet, aku kena batunya, aku harus jawab apa ini soal Toni. Tak mungkin aku bilang aku yang bohong. Atau dia akan mengatakan aku jalang juga.
“Sudahlah mas, ndak papa, saya juga malas ngomong soal Toni.” Aku ngeles.
“Oh gitu, ya sudah, maafkan teman saya yang jahil ya!” jawabnya sopan. Suaranya berat sekali. Sepertinya dia agak sedikit gendut atau cowok cool. Aku suka suaranya.

Perkenalan itu berlanjut sampai satu bulan. Kami nyaman dengan telpon dan SMS. Dia tidak tahu kalau aku berbeda dari gadis-gadis yang lain. Tapi aku juga tak tahu juga, apakah dia sadar suaraku sedikit berat dan berbeda dengan yang lain. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keisenganku dengan dia.
Cerita ini kemudian naik hingga saling curhat. Aku juga merasa dia nyaman dengan aku. Dia selalu perhatian denganku. Aku senang juga memperhatikan dia. Tak jarang aku mengingatkan dia untuk makan tepat waktu. Dia lelaki pekerja keras yang kerja di hotel bintang tiga. Dia bekerja di bagian manajer roomboys. Dia menunjukkan fotonya di Facebook. Ku lihat dia lelaki aktif dengan dikelilingi sejuta cowok-cowok ganteng. Badannya six packs, tinggi, putih, dan ganteng.


Dia mengajakku bertemu. Ini bagian yang paling aku benci. Aku tak mau orang yang aku sukai kabur hanya karena melihat fisikku. Aku sudah bilang, aku tak cantik, aku tak sexy. Aku bingung. Harus bagaimana aku menjelaskan. Mau tidak mau aku harus jujur. Jika tidak, dia akan jauh lebih kecewa. Ada dua resiko yang harus aku terima. Aku akan sendiri karena kekecewaannya, atau aku akan malu karena fisikku sendiri. Ya!! Aku harus tegas! Aku akan mengatakan saja ini padanya. Aku akan telpon dia malam ini juga.

yuk tunggu lanjutan ceritanya minggu depan gais....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar