Sabtu, 30 Mei 2015

Kopi Konsentrasi Rindu



Lanjutan.....

Perlahan langkah kaki beralas sandal jepit ini sudah mendekati dermaga. Dermaga kayu dekat puskesmas yang sudah menjadi tempat janjiku malam ini dengan uty. Dari kejauhan terlihat zul dan jay sibuk pengamatan dan pengambilan data, sehingga aku pun tidak ingin mengganggu keseriusan mereka. Langkah kaki ini pun sampai didepan puskesmas. Melihat kearah rumah dinas di puskesmas itu masih belum terlihat uty menampakkan sosoknya. Sembari menunggu aku pun sedikit senam senyum untuk menghilangkan rasa gugupku, maklum pertemuan kita tadi sore membuat aku mendadak lupa cara senyum dan selalu terpikir tentang uty.

Tak lama ku menunggu uty pun keluar dari rumah dinas itu. Dengan membawa 2 buah mug yang sengaja ditutup atasnya untuk menjaga isinya tetap panas. Rambut ikal yang terikat dan jaket merah muda yang menempel di badan wanita ini membuat jantungku berdebar kencang. Masih ingat betul ketika kami 7 tahun lalu di café mas ambon, uty mengenakan jaket merah muda dan rambut terikat seperti ini. iya sama, sama hal yang kurasakan dahulu, dahulu bukan sekarang lagi. namun kenapa tetap sama?.. Lagi-lagi uty mencoba masuk dan mengingatkan ku dengan kenangan yang tadi sore baru saja berntakan dan perlahan aku bereskan.

“udah lama disini ber?” pertanyaan pembuka malam ini dari uty
 “sory agak lama soalnya aku bikin kopi buat kita berdua” 
dengan kedua tangan memegang mug yang tertutup yang sedari tadi sudah aku lihat dari pintu rumah dinasnya.
pict ilustrasi by ebit

“enggak kok palingan baru 10 menit disini ty, wah makasih ya repot-repot banget, tapi paslah ya ngopi di pinggir pantai malam gini.” jawabku dengan memasang muka yang santai

“yuk ber, kita kedermaga yuk” dengan langkah kaki menuju arah dermaga.

Dermaga kayu kecil ini, yang sudah mulai kehilangan bagian kayunya karena di dera ombak berkali-kali bahkan ribuan kali, seperti aku yang sudah perlahan kehilangan rindu yang terpisah tanpa harus aku berani mengungkapkan selamat berjumpa kembali

Akhirnya kami duduk berdua diterangi lampu eletrik yang sudah dibawah uty dari rumah dinas. Buliran ombak terlihat masih jelas ada di bawah kami. Air laut surut memperlihatkan karang dan batu serta pasir putih yang tersinari lampu elektrik. Kerinduan ku yang sudah lama surut kini mendadak pasang kembali. Jerman dan Indonesia itu tidak dekat. Serta 7 tahun itu bukan waktu yang sebentar.

“kamu masih  inget ber kopi yang pertama kali kita minum di café mas ambon? Akibat kita berlaga coba-coba kopi hitam biar kayak orang dewasa.. tapi sesudah itu kita malah pesen segelas buat berdua sebagai menu tambahan.”

Aku sangat ingat betul, bahkan kamu yang meracik berapa sendok gula yang kamu tuang di cangkir kopi itu. Ya kopi hitam segelas berdua itu kita habiskan setelah kita menghabiskan milkshake yang kita pesan masing-masing. Bahkan kopi hitam pertama dan manis nya pas itu yang selalu menemaniku untuk menebus rasa salah ku tak berucap selamat tinggal di bandara itu kepada mu.

“iya masih ingat ty, itu kan kamu yang selau meracik gulanya berapa sendok biar pas.” Sahutku masih terlihat datar

“ini kopi aku bikin sesuai dengan apa yang dulu kita rasakan, kopi hitam pertama kita ber. 1 setengah sendok makan dalam 250 cc larutan kaffein”

“iya ty, artinya 55 persen konsentrasi gula dalam kopi kan racikan berbasis kimia kita dulu. Gak teralalu manis dan gak terlalu pait”

Cuman kamu yang bisa membuat 55 persen konsentrasi manis tepat dalam larutan caffeine itu, kamu yang selalu berhasil bereksperimen dengan larutan hitam ini

“kamu memang selalu ingat ty, gak pernah lupa ya” lanjutku

“iya ber, selama aku dijerman aku mengganti gula itu dengan susu. Aku sudah jarang sekali minum kopi hitam sepeti itu ber. Cuman kali ini aku sengaja bikin berdua dengan kamu kopi hitam kesukaan kamu dengan gula sesuai dengan resepku.”

Gaya becanda uty selalu membuat kau tertawan dan seolah ada di 7 tahun lalu.

“aku juga udah 2 tahun ini gak lagi konsumsi kopi hitam berlebihan ty, biasa juga aku kalo ngafe paling cappuccino”

“sama ber, di jerman juga aku lebih senang pesen cappuccino” sahut uty

Kita memang hampir sama dalam pemikiran, hingga kopi hitam itu menjadi cappuccino menjadi alasan klasik diriku tidak bisa melupakannya. Aku mengganti dengan cappuccino supaya aku segera bisa melupakanmu. Bertahun tahun aku sukses, tapi kopi hitam buatanmu menggagalkanku untuk benar-benar melupakanmu.  Bahkan aku rindu sekali dengan cappuccino dingin ku.

Cara uty menyajikan kopi hitam ini bahkan bahasan nya ini mengisyaratkan bahwa sebernarnya dia masih ada rasa kepadaku, bahkan dia mungkin terlalu menderita menahan sesuatu dan menunggu Sesuatu yang dulu selalu diharapkannya keluar dari mulut ku.

“kamu di jerman kemarin gimana ty?” pertanyaanku kali ini mencoba mengalihkan agar pembicaraan kita makin berkembang.

“aku dijerman tinggal dirumah salah satu orang Surabaya yang sudah lama kuliah disana dan sekarang juga jadi pengusaha disana, dia temannya pamanku yang ada dijakarta. Namanya pak santoso, yang istrinya juga kerja di kedubes Indonesia untuk jerman disana ber. Kuliah dijerman itu betul-betul asyik dan nyaman, segala sesuatunya lengkap dan dekat membuat aku gak bosan. Paling kalau aku kangen sama Indonesia aku pergi ke café ujung jalan punya pak barata, orang bandung yang punya kedai kopi cukup rame disana.”

“kamu kalo kesitu sendirian? Kamu gak ada teman disana?” sahutku begitu penasaran

“ada teman kampus ber, cuman kan kadang kalau mereka libur mereka balik ke negaranya ber, kan kalau aku sih gak balik paling ya jalan aja sendiri ber”

“emang kamu gak ada pacar atau soulmate kah disana?” tanyaku mulai agak serius

“gak ada ber, kan soulmate ku waktu itu di bogor kuliah” jawabnya sembari senyum

Dia selalu tidak berubah, bahkan ketika disana pun dia belum bisa menemukan sahabat sedekat ku. Mungkin lebih dari sahabat.  

Jerman tidak berhasil mengubah sikapnya kepadaku. Bahkan 7 tahun lamanya negeri 4 musim itu masih menyisakan tropis di hati itu. Ya tropis yang hangat itu adalah kedekatan sahabat yang sudah menjadi soulmate hanya kurun waktu bersama satu tahun.

Pembicaraan pun menjadi terlalu serius bagi kami di pulau beratap bintang dan berpayung purnama itu.

Selama di Jerman memang uty beberapa kali menelpon ke Indonesia, salah satu nomor yang di tuju adalah no handphone ku, namun sempat sekali terangkat oleh ku ketika aku sedang berada di kereta ekonomi yang penuh sesak sore itu, sehingga aku tak bisa mendengar jelas suara dari nomor telpon tanpa nama itu. Dan itu juga terakhir kali aku memegang handphone ku yang sudah ku punya dari kelas satu SMA. Selebihnya handphone lama ku itu berpindah tangan hingga tak tau tangan siapa yang sudah meraih handphoneku.

Semenjak handphone ku raib dikereta sore itu aku pun tidak punya handphone selama beberapa bulan, bahkan untuk membeli handphone pun aku tidak berani meminta uang kepada orang tuaku yang saat itu usaha fotocopynya sedang bangkrut. Hanya tersisi tabungan untuk pulang ketika lebaran yang waktu itu semakin dekat.

Jerman memang negara yang tidak pernah uty duga bahwa dia akan kesana. Padahal mimpinya menjadi seorang peneliti di laboratorium tidak dapat dia capai. Gelar dokter keluarga memang sudah dia pegang sekarang. Namun wawasan dan cita-cita nya yang ingin bekerja  di laboratorium telah dititipkan kepada ku, bagaimana tidak sewaktu test Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Seluruh Indonesia (SPMB) waktu itu yang mengisi berkas dan formulir adalah uty, bahkan terkadang dia harus kerumah ku untuk hanya sekedar menjemputku dan membereskan berkas formulir SPMBku.

Jurusan KIMIA adalah prioritas pertama dan kedua di formulirku, Universitas Indonesia dan Institu Pertanian Bogor berderet nama universitas yang di pilihkan uty untuk ku diberkas SPMBku. Ketika Test masuk yang waktu itu, uty yang menjemputku pagi-pagi bahkan yang membangunkanku. Begitu baiknya uty kepadaku yang memang tak kusadari aku bukan hanya sekedar sahabat yang dititipkan mimpinya.



Jumpa Malam Minggu Selanjutnya Gais.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar