ilustrasi sert_mahmed (instagram) |
Jurusan
KIMIA adalah prioritas pertama dan kedua di formulirku, Universitas Indonesia
dan Institut Pertanian Bogor berderet nama universitas yang di pilihkan uty untuk
ku diberkas SPMBku. Ketika Test masuk yang waktu itu, uty lah yang menjemputku
pagi-pagi bahkan sebelum aku bangun dia sudah berada diruang tamu bersama ibuku dan membangunkanku. Begitu baiknya uty kepadaku yang memang
tak kusadari aku bukan hanya sekedar sahabat yang dititipkan mimpinya.
Memang
uty tidak ikut SPMB waktu itu karena dia sudah masuk jalur beasiswa prestasi di kedokteran di Goettingen
Universty di jerman. Wanita berkaca mata ini memang sosok manis yang selalu
haus akan ilmu pengetahuan. Tak heran bahkan di german dia merupakan salah satu
pemegang gelar cumlaude. Wanita yang selalu menjaga kesehatan badannya itu
memang tidak begitu suka jenis kafein dalam larutan hitam kopi, tapi sesekali ketika
dia belajar dia selalu membutuhkan larutan hitam kafein itu. Bagiku waktu itu
dia merupakan orang yang bisa mengukur dan membuat larutan gula dengan glukosa
dengan komposisi yang pas menurut selaraku, serta dia selalu menjadikan aku kelinci percobaannya untuk mencicipi hasil racikannya, walaupun racikannya selalu pas, aku selalu menggodanya dengan kalimat "masih pait nih kopinya, tapi pas lihat kamu kok langsung ilang paitnya".
Tak
terasa sudah hampir dua jam aku duduk di dermaga ini berdua dengan uty, dan
sejenak tak terlintas puspa di benak ku. Rayuan ombak dan angin malam purnama
itu telah mebius ku, senyum uty menarikku kebelakang lebih jauh dari waktu ini
sedari sore tadi. Bahkan ribuan bintang pun menjadi media setiap bincang kita
berdua dalam nostalgia.
Memang
kotak itu terlalu hancur dan berserakan, tapi aku tahu dan aku menjadi sadar
bahwa kenangan itu tidak untuk aku simpan serta aku kucilkan hingga tak
terlihat. Kenangan itu memang ada saat nya untuk dijadikan bahan sebagai
pengantar dalam setiap perbincangan, kenangan itu menjadi pembelajaran yang
sangat berarti dan pantas untuk dikenang.
Nostalgiaku
dengan uty kali ini begitu serius, serius sekali hingga pelepuh air mata jatuh
dari matanya. Dia terbawa suasana ombak nostalgia ini. Dia begitu kesepian dan
begitu merindukan hadirnya soulmate, bahkan dia begitu menahan rasa sayang yang
sulit dia ungkapkan. Ketika dia mengungkapkan maka dia takut kehilangan seorang
sahabatnya.
Kecerdasaan intelektualnya memang tidak diragukan lagi, gelar
dokter keluarga sudah di raihnya. Namun cinta dan kasih sayang itu tidak bisa
diraihnya karena tembok persahabatan dan tidak berani nya mengungkapkan yang
menjadi duri pengganjal dipikirannya.
“seandainya
waktu bisa kuputar kembali dan aku diberikan waktu untuk kembali ke masa lalu,
mungkin aku tidak akan memilih keruangan osis itu dan tidak bertemu denganmu”
Kata-kata
itu keluar dari mulut manis yang dari tadi mencoba bercerita dan bernostalgia
bersama ku.
“loh
kenapa ty?” tanyaku tak bersalah
“ kamu
masih nanya kenapa? Aku tuh nunggu ber, nunggu… nunggu emailmu, nunggu jawaban
panggilan dari mu, dan aku tuh ke Surabaya itu cuman ingin nunggu kamu dan
nunggu kamu nepatin janji” jawab uty yang kali ini pipinya sudah basah oleh air
matanya.
aku masih saja seolah tak bersalah, aku hanya takut aku
berharap lebih, kamu itu pintar cerdas, cantik dan dari orang yang tegolong
sukses. Sedangkan aku apa? Aku hanya kalangan bandit di sekolah yang baru kamu
sadarkan lewat buku kimia itu. Jikalau kamu diberi waktu untuk kembali ke masa
lalu dan kamu lebih memilih untuk tidak bertemu dengan aku, mungkin sekarang
aku hanyalah seoarang yang super bandel dan yang hanya bisa menjadi kasir serta
operator photocopy punya bapakku. Kamu ty yang sudah mengubah hidupku. Kamu
yang meyakinkan aku, dan kamu yang sukses membuat aku menjadi seorang peneliti
muda di laboratorium. Tapi aku memang sadar, aku juga takut bilang bahwa aku itu sayang sama
kamu wanita berhati bidadari. Aku lebih takut kehilangan kamu saat itu sehingga
aku membangun tembok persahabatan untuk bisa memilikimu selamanya. Tapi aku
salah. Aku sudah kehilangan kamu selama 7 tahun.
Air mata
itu memang sudah tak terbendung, aku hanya menatap dia dan duduk bersila di
hadapan dia. Ombak malam itu tidak menenangkan dia. Tapi mungkin hanya aku yang
akan menenangkan dia.
Perlahan
aku mencoba mengusap air matanya, kulit mulusnya di pipinya itu perlahan aku
usap. Dingin nya eropa mungkin berhasil membekukan kerinduan mu dan isi hatimu,
tapi kamu sekarang di iklim tropis yang seolah mencairkan semuanya perlahan
termaksut pertemuan kita saat ini sudah membuat hatimu meleleh dan melepaskan
semua isi di hatimu.
Kini aku hanya bisa menatapmu dari sini, mengusap pipimu
dan mencoba menenangkan tangismu yang semua itu terjadi karena seseorang yang
sangat kau kenal yaitu aku.
“kamu
kenapa bisa lupa dengan janji mu ketika kelulusan itu. Kamu pernah janji kan
dimana pun kita kuliah, ketika lulus kita harus pergi ke mas ambon untuk minum
kopi yang pertama kita minum waktu itu, kopi yang kita nikmati berdua bahkan
bukan berdua tapi segelas berdua. 7 tahun aku menantikan itu ber, aku konsen
kuliah dan ingin cepat selesai supaya aku bisa ketemu dengan kamu lagi ber. Aku
gak betah di jerman, aku gak betah kalau gak ada kamu.” Dengan pipi yang masih
belum kering karena air mata dia berucap.
Aku masih
terdiam, terpaku dengan tangan yang masih mencoba mengusap air matanya itu.
Sudah
terlalu lama aku tidak melihatnya, melihatnya tersenyum dan tertawa lepas
disetiap bahasan yang kadang itu tidak lucu. Kini aku melihat dia menangis,
tangisan rindu yang mendalam.
Sampai Jumpa Malam Minggu Depan Gais...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar