Sabtu, 13 Juni 2015

Kopi Hitam dan Arti Ambisi




Pintu itu perlahan tertutup
Kukira itu yang menutup catatan putih abu kita
Panggilan boading itu membawamu
Tapi aku hanya terdiam dari kejauhan

Melihatmu terbawa oleh besi terbang
Membawa mu semakin jauh ke benua lain
Membuat ku terbawa
Terbawa dengan suasana ketakutan
Ketakutan kehilanganmu

Tapi aku tidak tahu kalau itu sementara
Aku menganggap aku benar-benar kehilangan kamu
Aku lupa itu sementara

Ketika kamu berjuang untuk segera bertemu kembali dengan ku
Aku bahkan lupa akan janji ku
Janjiku kepadamu untuk sekedar menikmati kafein itu
Hanya berdua
Aku dan kamu

Aku salah
Aku menutup catatan yang belum selesai itu
Hanya buku kimia halaman 65
Dan mimpimu yang tidak pernah ku tutup

Aku terlalu mencintai diriku sendiri
Ku kira yang sayang kamu hanya aku
Ku kira yang tidak mau kehilangan kamu
Hanya aku
Ternyata semua itu sama
Semua yang kurasa kamu juga merasa.


Jarak itu sekarang hanyalah ilusi yang terkikis waktu, aku  yang dulu selalu melihat kamu tersenyum bahkan tertawa lepas disetiap jalan di lorong sekolah sepulang sekolah. Kini.. aku melihat kamu menangis, mungkin tangisan itu sudah lama kamu sembunyikan dan kamu bendung di benua biru itu. Kamu menangis begitu dalam, tangisan yang membuat aku bersalah, bersalah.

Kenapa tidak aku susul kamu dan ketemui kamu di pintu bandara sebelum besi raksasa itu mebawamu pergi ribuan kilometer dari tempat kenangan kita, kenapa aku tidak memberanikan diri untuk menemuimu setidaknya hanya untuk bersalaman sapa dan memberikan semangat, kenapa aku tidak berani, aku hanya takut, takut akan kehilangan kamu. Bukan aku tidak menyayangi kamu, aku sangat menyayangimu sehingga membuat aku takut kehilangan sahabat yang membangun dan memberanikan aku bermimpi.

Tangismu kini mulai meredah, ku hanya melihat kamu sesudah itu, bahkan bintang pun seolah menghujaniku dengan jalan sisi gelapnya langit malam. Kamu mencoba meneguk kopi buatanmu yang sudah mendingin kehilangan panasnya terkena angin malam di dermaga kayu ini.

“kok gak diminum lagi kopi buatan ku ber? Manisnya udah gak pas ya”

Aku masih terpukau dengan mata mu yang masih becek akan air mata tadi, padahal larutan kafein ini yang sudah pas konsentrasi nya sudah ikut kehilangan panasnya, seperti aku yang ikut memilih meninggalkan kenangan kita dikota kelahiran kita.

Aku mulai meraih gelas yang tertutup dari kamu, berisi larutan kafein dengan resep darimu. Perlahan mulai kusruput kopi itu, begitu nikmat dan pas, namun tak sepas pertemuan kita ditempat dan suasana seperti ini. Kurang tepat aja, seharusnya kita sudah dipertemukan tidak dalam suasana seperti ini, seharusnya kita tidak dipertemukan di gelap malam seperti ini, apakah ini memang suratan yang kuasa ketika kita ditemukan tanpa ada gangguan apapun, dipulau kecil nan damai tanpa bising motor dan gadget yang tak berfungsi tanpa kita terganggung media sosial dan nuasa perkotaan yang membuat kita tidak pernah fokus terhadap obrolan.

Rembulan dan ribuan bintang di atas kita mungkin menjadi saksi akan terciptanya kopi hitam yang sudah lama tidak pernah aku rasakan hingga 7 tahun lamanya. bahkan eropa tidak pernah mengubahmu sedikit pun, 

Hanya saja eropa kini mengajarkanmu akan kerinduan dan keterbukaan. Sama hal nya diriku, bogor dan Jakarta memang berhasil mengubahku secara keseluruhan namun metropolitan tidak berhasil mengahapus semua nya tentang kamu. Hanya tersisi satu yaitu impian mu yang kau tanamkan ke aku. 

Dari hal ini yaitu mimpi mu akan kimia adalah kunci yang tak sengaja kau tinggalkan untuk ku, ya untuk membuka kotak kenangan putih abu dihati kita masing-masing. Seharusnya dari awal aku dan kamu tidak perlu memporak porandakan kotak kenangan yang sudah kita simpan lama dihati kita masing-masing. Seharusnya kita dengan tenang dan berdamai dengan kenangan serta mencoba membukanya pelan dan indah itu kita dapat. Lagi-lagi air mata yang membecekkan mata dengan bulu lentiknya itu tak seharusnya keluar dan membuat kamu berhasil menyadarkanku akan kehilangan, ya rasa kehilangan yang tidak pernah aku coba usik dan hanya aku buang jauh seolah aku tidak pernah mengenalmu. Namun aku gagal.

Sekarang jika kau Tanya siapa yang merindukan masa itu
Aku jawab dengan tegas itu aku
Sekarang jika kau Tanya siapa yang paling menyesal
Aku jawab dengan senyum yaitu kita
Sekarang jika kau Tanya siapa yang sudah saling jatuh
Aku jawab dengan sabar yaitu kita
Sekarang siapa yang akan tahu kita dipertemukan dalam suasana yang kurang tepat namun tepat
Aku jawab itu adalah tuhan
Dan sekarang apa yang akan kita lakukan?
Aku pun menjawab tidak tahu.

Dunia mu masih aku, sementara aku sekarang lebih suka cappuccino dinginku
Kopi hitam buatan mu itu memang paling terenak dan terkomposisi dengan tepat. Namun aku tetap menyukainya dan menyukai kembali setelah kehilangan

Namun sekali lagi cappuccino ku ini sudah mengalihkan dan meninggalkan kopi hitam dan sang peraciknya yang sudah ribuan kilometer kemarin telah jauh.

Kini kamu terdampar di pulau ini setelah sekian lama hati mu tertinggal di kota pahlawan itu dan raga mu telah terdidik di benua biru. Kamu yang sekarang hadir kembali, dokter muda dan mimpi mu berkeliling Indonesia mengabdi kan ragamu. Aku selalu mengenalmu sebagai seorang yang selalu ambisius terhadap mimpi mu, termaksud aku adalah bagian dari mimpi mu. Sekarang aku yang berubah.

Bery yang dulu sudah tidak lagi ada, hanya seorang agus. Sosok demokratis hati yang selalu menikmati sabtu malamnya dengan cappuccino nya.

kamu dan ambisi, bagaikan seorang ilmuwan yang sedang membaca buku anti gravitasi, dimana dia tidak bisa menaruh bukunya...  kamu -- kopi hitam -- ambisi -- dan -- aku--- adalah materi buku teori anti gravitasi....

Sampai Jumpa Minggu Depan Gais...... :) :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar