Senin, 13 April 2015

Kopi Disebrang Utara



entah bagaimana aku memulainya, memulai membiasakan jauh
Jauh adalah Kata yang Pantas aku dapat, sesuai dengan apa yang menjadi garis
aku harus membiasakan memulai untuk tidur lebih cepat
aku harus membiasakan menaruh handphone jauh dari telinga
aku harus membiasakan tak mendengar lagi suaramu

kamu yang biasa mengatahui apa kesukaanku
kamu yang selalu mengerti berapa sendok gula yang kamu tuang dalam cangkirku
kamu  yang selalu membiarkan aku menikmati setiap senyummu
kamu yang kini hilang dan jauh

begitu adilkan?
adil kenapa?
aku atau kamu?
bukan kita lagi kan?

kini perasaanku tereduksi dan menjadi radikal
aku dan kamu tak lagi menjadi senyawa diazo yang begitu unik dan memiliki ciri khas

aku tak kuasa menahanmu pergi
seakan kaki ku lemas dan tak bergerak
membiarkanmu pergi
tanpa rasa

hai aku sekarang sedang berada di tempat kita menghabiskan waktu
kedai kopi itu, kamu masih ingatkan?

kenapa kamu hanya diam?
kau membenciku?

tolong jawablah!!
jangan matikan aku dengan diam mu

kenapa kamu tidak menoleh kebelakang terlebih dahulu ketika kau hendak pergi...
kenapa kamu melepas genggamanku?

hei jangan pergi jangan pergi! tetap disini

begitu pedihnya perpisahan itu, tapi kita harus sadar bahwa disetiap perpisahan itu akan ada pertemuan baru.
 tuhan tidak membiarkan kita takabur dengan mengabulkan semua permintaan kita dan doa kita dalam satu waktu, tuhan begitu mencintai kita, tuhan ingin merangkul kita dan tuhan begitu rindu dengan sujud kita. sesungguhnya yang mempunyai sifat takabur adalah dan hanya tuhan. kita manusia tidak pantas takabur. tuhan membiarkan kita berpikir.
jarak itu adalah ujian buat kita, pertemuan pun merupakan ujian bagi kita,
sebuah tugas diluar pulau dan paling ujung di utara maluku, aku harus mengabaikan segala macam media eletronik, semua gedget pun menjadi sampah, bahkan listrik pun sangat susah

duduk di sebuah dermaga kayu yang sudah mulai kehilngan bagiannya karena digerus ombak
aku duduk dalam kegelapan beratap bintang dan purnama
cahaya senter itu menjadi bukan satu satunya lampu dalam malam kita.
menjadi terang ketika aku bertemu lagi dengan kamu

beberapa kali mata ini tertuju ke atas melihat bintang yang begitu jelas, gemuruh ombak menjadi alunan musik sendu, mengingatkan aku tentang kamu dan semua tentang aku.

begitu damainya kurasa malam itu, senduh teduh dan tenang.
tak ada gemuruh berisik musik dan suara kendaraan
masyarakat begitu tenang menghadapi malam

hiburan mereka hanya duduk melingkar mendiskusikan sesuatu higga kantuk datang
berdiskusi, akrab dan bercengkramah
tanpa keegoisan pun kulihat

barangkali mereka tidak pernah mengerti dan sempat mersakan galau di pulau ini
angin malam begitu dingin aku tetap menikmati nya
hingga perlahan kopi yang kuseduh dari rumah pak desa ini mulai mendingin

kini kurasakan kembali
setiap dingin aku rasakan kamu
sikap kamu begitu dingin
waktu itu

aku belajar dan hanya bisa mersakan lewat secangkir kopi ini
entah apa yang sedang kamu lakukan waktu itu
di belahan waktu berbeda di sana
bahkan ini begitu adil, pertemuan ditanah berbeda

disini aku mengerti arti kehilangan kamu
disini aku mengerti bahwa aku memang masih jauh dari kata pantas
apabila kita saling bertukar posisi
mungkin aku dan kamu mengerti dan paham akan sebuah conclution jarak

Kini aku dan kamu bertemu dalam payung purnama
Mengubah dan mencoba menghias semua tentang kita dalam sebuah kopi malam ini


 Prosa dari Secangkir Kopi Di Sebrang

berbagi adalah cara unik dan manusia butuh itu

nantikan cerita nya beberapa hari kedapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar