Kamis, 02 April 2015

Secangkir kopi dan sunset


Adzan berkumandang, pagi begitu buta bahkan aku terbangun mendahului sang muadzin masjid sebelah kostn. Minggu pagi ini, begitu berbeda dengan pagi sebelumnya. Bahkan aku harus menanam banyak alarm di handphone agar aku tidak telat pagi ini. Mengingat aku punya janji kepada puspa untuk meluangkan berolaraga. Seusai sholat subuh, aku pun kembali masuk kekamar untuk segera meraih handphone, dan berharap ada pesan masuk dari dia. Dugaan ku kali ini tidak salah. Seusai dari masjid dan masuk kekamar ada sebuah pesan dari dia.
“mas, udah bangun belum? Jangan lupa sholat subuh ya. Mungkin jam 6 aku udah dilosari”
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.20.
aku pun bergegas meraih kunci motor dan melaju motor  menuju pantai losari. Jalanan pagi ini begitu sepi. Aku pun sampai pas jam 6 di pelataran parkir dekat sebuah hotel ternama di pantai losari. 

Sambil memarkir motor yang sudah hampir penuh, di parkiran itu aku melihat kanan kiri. Kumpulan orang mulai memadati seluruh bagian jalan pantai losari. kemudian memasuki kerumunan demi kerumunan untuk mencari dia. Entah tindakan ceroboh telah ku lakukan, aku tidak membawa handphone ku sehingga aku pun tidak bisa menghubungi puspa untuk mencari tahu keberadaan dia. Sambil lari-lari kecil aku pun melewati dan menerobos kerumunan orang yang memadati pantai losari.

Aku hanya berharap aku menemukan dia, dan akupun berharap dia mencariku diantara ribuan orang yang ada dijalanan pantai. Hanya rasa yang aku gunakan dalam mencarinya. Rasa ini yang kuharap mempertemukan kita dalam keramaian ini tanpa dimanja teknologi.

Ternyata perasaan ku membawakan kesebuah sudut ajungan pantai dimana disitu  ada kamu terlihat gelisah menanti seseoarang yang ku harap itu adalah aku. Kuraih dua botol air mineral dari seorang pedagang asongan yang melintas mondar mandir disitu. Langkah yang mengendap endap menghampiri kamu. Melihat mu dari kejauhan yang semakin lama semakin gelisah, membuat rasa jahilku muncul dan ingin mengagetkan kamu.

Tapi rencana jahilku pun gagal, karena kamu sudah melihatku terlebih dahulu. Muka mu pun mengkerut menandakan kamu sudah bosan terlalu lama menunggu.

“gimana sih mas, kok dihubungin dari tadi gak bisa” kata dari bibir tipis mu itu memandakan suatu kekhawatiran dan menunggu agak lama
“mas gimana sih, mas handphonenya kemana? Aku hubungin susah banget” belum ada pembelaan dariku, kamu sudah lebih dulu berstatment.
“cieeee,, posesif banget sih… ini kamu minum dulu, pasti haus, kan nunggu itu bikin haus kan ya, haus akan kasih sayang. ups” canda ku mencoba memasukin amarah mu.

Kamu pun tersenyum begitu senang dan tenang, seolah bosanmu sudah lenyap dengan tegukan air yang membasahi tenggorokanmu..

“ihhh mas ihhh, kemana handphonenya? Aku hubungin kok gak bisa” kamu masih menanyakan hal yang sama.

“ketinggalan dek, soalnya tadi buru-buru. Aku sudah gak sabar ketemu kamu” rayuan kembali kulempar kearahnya.

“gombal mulu ihhhh…. Yuk mulai jogingnya” ajaknya

Kami pun mulai berlari kecil menyisiri jalanan aspal dan melewati orang demi orang, berputar kembali dari ujung jalan ke ujung jalan satu nya. Keringat sudah mulai mengalir, nafasmu yang mulai terengah-engah membuatku menyuruhmu untuk sejenak istirahat dan kembali meneguk air mineral dalam botol plastic yang kita tenteng dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya.

Sinar mentari pun mulai menyapa dengan hangat nya. Suasana mulai ramai dengan berbagai kalangan dan jalan pun padat dengan pedagang asongan. Keringat pun sudah lumayan deras mengucur, kami pun berhenti sejenak di dekat anjungan masjid apung. Suasana pagi itu memang sangat hangat, apalagi aku harus sengaja dan ditemani seorang wanita cantik disampingku ini. Dahaga yang terkuras akan keringat pagi ini tak begitu terasa, bahkan air mineral yang kita pegang dari tadi tidak lah habis begitu banyak berukurang volumenya.

Canda tawa mengisi perbincangan kita sembari mengipas dan mengelap keringat yang membasahi badan. Seorang ibu penjual kopi seduh lewat depan kami. Kami pun memesan dua gelas kopi seduh sachet, kopi rasa mocca ini pun terseduh begitu cepat dan tersaji begitu panas. Kami letakkan kopi itu disamping kami, dengan duduk berlesahan kami memandang lepas kearah pantai. Matahari terbit yang sinarnya mendayu-dayu menyapa kami, hembusan angin pantai yang begitu sepoy membuat kami semakin nyaman duduk berselonjor di ajungan ini.

Keringat yang mulai kering terbasu angin dan kopi yang sudah mulai hangat kami sruput begitu nikmat. Nikmat nya mengalahkan dahaga yang romantic ini. Dahaga atas kerinduan akan rasa “saling” begitu melengkapkan pagi ini. Seyum puspa begitu sangat memiliki arti, manis nya semakin bertambah meningkat dalam romansa pagi dilosari ini.

Kopi pagi ini memang beda dengan kopi di malam sabtu biasanya. Sederhana, kopi mocca yang begitu manis ini membuat kita terbuai akan sinar mentari yang mulai masuk dilapisan kulit epidermis kita.
Walaupun baru tadi malam kita lepas tatap muka, rasa ini begitu mendera membuat jantung berdebar begitu kencang, apa ini kasmaran?
Mungkin pertanyaan itu tidak akan pernah kami berani tanyakan satu dengan yang lain. Setidaknya kita saling tau dan saling merasakan rasa yang sama. Begitu cepat kah? Kurasa ini hal yang wajar, bagaimana tidak. 
Kekosongan yang sudah lama kita lalui membuat kita terlihat begitu saling menanti, menanti orang yang tepat tanpa begitu banyak syarat. Kekosongan yang kita jalani begitu ikhlas kini berubah menjadi rasa saling mengisi. Entah kapan ini akan didelegasikan antara hati dan hati. Yang jelas saat ini kami begitu merasakan rasa manis.
Manis yang melebihi sacharin yang ada dalam kopi sachet ini. Begitu merasakan romansa kebersamaan di sinari mentari di pinggir pantai losari. Hingga kami akan lupa tentang arti kekosongan yang selama ini berjalan tidak sebentar waktunya.

Sengaja atau tidak yang jelas anjungan ini menjadi saksi romansa kopi pagi ini, tidak ada pasang mata yang ada didekat kita, begitu sepi. Semua sibuk dengan kegiatan masing masing, mondar-mandir melewati kami tanpa ada yang berani mendekat, mungkin mereka memahami kita atau mereka tidak ingin mengganggu kita.

Waktu sudah tidak lah pagi lagi, kini sinar mentari memberikan aba-aba bahwa dia akan lebih ganas dari mentari pagi. Akhirnya kami pun bernajak dari tempat kami menjauh dan meninggalkan 2 buah gelas plastic yang sudah kehilangan volume nya.

Bagi kami, perasaan kami berbeda dengan nasib gelas kosong yang makin lama makin kita beri jarak dan kita tinggalkan. Kekosongan yang kami tinggalkan perlahan hingga kami lupa untuk menengok kebelakang. Menengok bahkan berucap selamat tinggal pada gelas kosong bekas kopi tadi.

Langkah beriringan menuju parkiran dan melewati jalan yang sudah mulai sepi dan semakin ramai dengan debu oleh petugas penyapu jalan. Debu sudah mulai bertebangan membuat puspa harus melangkah lebih cepat, dikarenakan dia alergi debu.

“ayo mas, debunya banyak banget aku bisa alergi kalo debu kayak gini”. Sembari memegang tangan ku menarik untuk mempercepat langkah meninggalkan area pantai.

Aku yakin ini hanya ketidaksengajaan dia menggandeng tangan ku, yang jelas bila ini memang ketidaksengajaan aku harus benar-benar merasakan tangan lembut puspa walau langkah harus semakin cepat.

Sesampainya di parkiran motor, muka puspa pun begitu memerah. Aku fikir ini mungkin efek alergi debu.

Tapi ternyata tidak,
“maaf mas, aku gak sengaja” sambil melepas genggaman tangannya dari tanganku
“ah tidak apa-apa kok, ini boleh segaja gandeng lagi sekarang” ku ulurkan tanganku kembali
“ihhhh, maunya” dengan mukanya makin memerah
“mau kemana lagi kita?” Tanya ku mencoba untuk meredahkan rasa malu dalam hati ini.
“yuk, sarapan yuk.. kita makan bubur paling enak di Makassar” ajak dia sembari meletakkan helm di kepalanya.

Kami pun akhirnya menuju jalan mapanuki untuk sarapan di bubur mbak sri.
Dengan mengikuti nya dari belakang karena tidak tau jalan, akhirnya tidak lama kurang lebih 15 menit kami sampai di warung mbak sri.

Sembari memarkir, ada tukang parkir menghampiri kami. Sembari memarkir puspa pun tersenyum kepada tukang parkir, seolah kenal akrab.

“eh mbk upa, baru kesini lagi. Udah lama gak lihat kesini” kata abang parkir
“iya pak, sibuk banyak tugas kuliah” sembari senyum terlempar menjawab pertanyaan tukang parkir
“hayo ini siapa hayo? Biasanya sendiri” pertanyaan abang parkir seolah menggoda puspa sembari menunjuk ke arahku

“teman pak…” puspa pun tertawa geli
“oh saya kira pacarnya” sahut abang parkir
“teman special maksunya pak” ujarku berniat menggoda puspa.

Muka puspa pun memerah.. “udah ah ayo masuk buruan aku laper”
Aku pun masih tertawa geli sembari jalan berdekatan menuju tempat memesan bubur.
Dua mangkok bubur pun tersaji didampingi mangkok kerupuk dan beberapa sajian meja lainnya.
Kami berdua pun akhirnya menikmati bubur yang tak lama datang setelah kami pesan. Memang bubur ini sangat ramai dikala minggu pagi seperti ini, bahkan terkadang harus mengantri menuju dan mencari meja kosong yang ada.

Bubur ini begitu halus dan lembut, rasa ayam suwir dan ati ampela itu begitu terasa jelas, menghiasi setiap kunyahan dalam mulut perlahan masuk dalam lambung yang dari pagi kosong. Begitu nikmat!!

Ku perhatikan cara makan bubur puspa begitu unik, dia mengunyah setiap sendok bubur itu dengan mata terpejam di setiap 3 detik kunyahan pertama. Begitu menikmati dan seolah menunjukkan rasa.

Dari kejauhan seorang wanita paruh baya menghampir meja kami dengan menyugukan beberapa tusuk ati ampela tambahan, dan menyapa puspa begitu akrab.

“eh upa, dari tadi ki?” logat Makassar yang begitu cepat dilontarkan ke upa

Ternyata wanita paruh baya itu adalah mbk sri sang pemilik bubur fenomenal ini. Memang begitu lama ternyata puspa menjadi langganan setiap pagi di mbk sri. Sehingga tak heran mbak sri yag begitu ramah itu sangat hapal betul pelanggan setianya.

Perbincangan bahasa bugis pun terjadi begitu cepat sehingga aku sulit mengerti setiap kata yang ada. Yang jelas sepertinya bahasan mereka tertuju pada pria gembal wajah jawa yaitu aku.
Tak lama setelah ituu mbak sri kembali ke spotnya untuk melayani pelanggan lain yang makin lama makin memadati warung sederhananya.

Tak lama aku menanyakan bahasan yang begitu kuduga adalah tentang aku.
“ngomongin apa aja sih tadi dek?”
“ah mauuuuu taauuuuu aja,salah sendiri gak mau belajar bahasa bugis, jadi kan gak tau. Hehhe”
“huh dasar kamu ya… bener ni gak mau ngasih tau? Kalau gak mau ngasih tau aku habisin bubur ini”
“hahahhaha biarin”
Akhirnya dia pun tidak mau ngejelasin, dan akhirnya akupun harus menghabiskan bubur yang super enak ini. Heheh

Bubur sudah habis kita makan, rindu pun sudah habis dan terobati, perut yang terisi kenyang membuat kami tak ingin segera hengkang dari bangku kayu warung mbak sri. Entah karena perut kenyang atau sengaja untuk saling menikmati suasa romansa mentari losari yang masih terbawa sampai warung bubur ini.


Karena antrian makin lama makin panjang memaksa kami untuk meninggalkan bangku kayu itu. Artinya kami harus segera kembali dan tak tatap muka hingga minggu depan lagi.

Selamat Ketemu Minggu Depan......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar