Adzan berkumandang, pagi begitu buta bahkan aku terbangun mendahului
sang muadzin masjid sebelah kostn. Minggu pagi ini, begitu berbeda dengan pagi
sebelumnya. Bahkan aku harus menanam banyak alarm di handphone agar aku tidak
telat pagi ini. Mengingat aku punya janji kepada puspa untuk meluangkan
berolaraga. Seusai sholat subuh, aku pun kembali masuk kekamar untuk segera
meraih handphone, dan berharap ada pesan masuk dari dia. Dugaan ku kali ini
tidak salah. Seusai dari masjid dan masuk kekamar ada sebuah pesan dari dia.
“mas, udah bangun belum? Jangan lupa sholat subuh ya. Mungkin jam 6 aku udah dilosari”
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.20.
aku pun bergegas meraih kunci motor dan melaju motor menuju pantai losari. Jalanan pagi ini begitu
sepi. Aku pun sampai pas jam 6 di pelataran parkir dekat sebuah hotel ternama
di pantai losari.
Sambil memarkir motor yang sudah hampir penuh, di parkiran itu
aku melihat kanan kiri. Kumpulan orang mulai memadati seluruh bagian jalan
pantai losari. kemudian memasuki kerumunan demi kerumunan untuk mencari dia. Entah
tindakan ceroboh telah ku lakukan, aku tidak membawa handphone ku sehingga aku pun
tidak bisa menghubungi puspa untuk mencari tahu keberadaan dia. Sambil
lari-lari kecil aku pun melewati dan menerobos kerumunan orang yang memadati
pantai losari.
Aku hanya berharap aku menemukan dia, dan akupun berharap
dia mencariku diantara ribuan orang yang ada dijalanan pantai. Hanya rasa yang
aku gunakan dalam mencarinya. Rasa ini yang kuharap mempertemukan kita dalam
keramaian ini tanpa dimanja teknologi.
Ternyata perasaan ku membawakan kesebuah sudut ajungan
pantai dimana disitu ada kamu terlihat
gelisah menanti seseoarang yang ku harap itu adalah aku. Kuraih dua botol air
mineral dari seorang pedagang asongan yang melintas mondar mandir disitu.
Langkah yang mengendap endap menghampiri kamu. Melihat mu dari kejauhan yang
semakin lama semakin gelisah, membuat rasa jahilku muncul dan ingin mengagetkan
kamu.
Tapi rencana jahilku pun gagal, karena kamu sudah melihatku
terlebih dahulu. Muka mu pun mengkerut menandakan kamu sudah bosan terlalu lama
menunggu.
“gimana sih mas, kok dihubungin dari tadi gak bisa” kata
dari bibir tipis mu itu memandakan suatu kekhawatiran dan menunggu agak lama
“mas gimana sih, mas handphonenya kemana? Aku hubungin susah
banget” belum ada pembelaan dariku, kamu sudah lebih dulu berstatment.
“cieeee,, posesif banget sih… ini kamu minum dulu, pasti
haus, kan nunggu itu bikin haus kan ya, haus akan kasih sayang. ups” canda ku mencoba memasukin amarah mu.
Kamu pun tersenyum begitu senang dan tenang, seolah bosanmu
sudah lenyap dengan tegukan air yang membasahi tenggorokanmu..
“ihhh mas ihhh, kemana handphonenya? Aku hubungin kok gak
bisa” kamu masih menanyakan hal yang sama.
“ketinggalan dek, soalnya tadi buru-buru. Aku sudah gak
sabar ketemu kamu” rayuan kembali kulempar kearahnya.
“gombal mulu ihhhh…. Yuk mulai jogingnya” ajaknya
Kami pun mulai berlari kecil menyisiri jalanan aspal dan
melewati orang demi orang, berputar kembali dari ujung jalan ke ujung jalan
satu nya. Keringat sudah mulai mengalir, nafasmu yang mulai terengah-engah
membuatku menyuruhmu untuk sejenak istirahat dan kembali meneguk air mineral dalam
botol plastic yang kita tenteng dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya.
Sinar mentari pun mulai menyapa dengan hangat nya. Suasana mulai ramai dengan berbagai kalangan dan jalan pun padat dengan
pedagang asongan. Keringat pun sudah lumayan deras mengucur, kami pun berhenti
sejenak di dekat anjungan masjid apung. Suasana pagi itu memang sangat hangat,
apalagi aku harus sengaja dan ditemani seorang wanita cantik disampingku ini.
Dahaga yang terkuras akan keringat pagi ini tak begitu terasa, bahkan air
mineral yang kita pegang dari tadi tidak lah habis begitu banyak berukurang
volumenya.
Canda tawa mengisi perbincangan kita sembari mengipas dan
mengelap keringat yang membasahi badan. Seorang ibu penjual kopi seduh lewat
depan kami. Kami pun memesan dua gelas kopi seduh sachet, kopi rasa mocca ini
pun terseduh begitu cepat dan tersaji begitu panas. Kami letakkan kopi itu
disamping kami, dengan duduk berlesahan kami memandang lepas kearah pantai.
Matahari terbit yang sinarnya mendayu-dayu menyapa kami, hembusan angin pantai
yang begitu sepoy membuat kami semakin nyaman duduk berselonjor di ajungan ini.
Keringat yang mulai kering terbasu angin dan kopi yang sudah
mulai hangat kami sruput begitu nikmat. Nikmat nya mengalahkan dahaga yang
romantic ini. Dahaga atas kerinduan akan rasa “saling” begitu melengkapkan pagi
ini. Seyum puspa begitu sangat memiliki arti, manis nya semakin bertambah
meningkat dalam romansa pagi dilosari ini.
Kopi pagi ini memang beda dengan kopi di malam sabtu
biasanya. Sederhana, kopi mocca yang begitu manis ini membuat kita terbuai akan
sinar mentari yang mulai masuk dilapisan kulit epidermis kita.
Walaupun baru tadi malam kita lepas tatap muka, rasa ini begitu mendera membuat jantung berdebar begitu kencang, apa ini kasmaran?
Mungkin pertanyaan itu tidak akan pernah kami berani
tanyakan satu dengan yang lain. Setidaknya kita saling tau dan saling merasakan
rasa yang sama. Begitu cepat kah? Kurasa ini hal yang wajar, bagaimana tidak.
Kekosongan yang sudah lama kita lalui membuat kita terlihat begitu saling menanti, menanti orang yang tepat tanpa begitu banyak syarat. Kekosongan yang kita jalani begitu ikhlas kini berubah menjadi rasa saling mengisi. Entah kapan ini akan didelegasikan antara hati dan hati. Yang jelas saat ini kami begitu merasakan rasa manis.
Manis yang melebihi sacharin
yang ada dalam kopi sachet ini. Begitu merasakan romansa kebersamaan di
sinari mentari di pinggir pantai losari. Hingga kami akan lupa tentang arti
kekosongan yang selama ini berjalan tidak sebentar waktunya.
Sengaja atau tidak yang jelas anjungan ini menjadi saksi
romansa kopi pagi ini, tidak ada pasang mata yang ada didekat kita, begitu
sepi. Semua sibuk dengan kegiatan masing masing, mondar-mandir melewati kami
tanpa ada yang berani mendekat, mungkin mereka memahami kita atau mereka tidak
ingin mengganggu kita.
Waktu sudah tidak lah pagi lagi, kini sinar mentari
memberikan aba-aba bahwa dia akan lebih ganas dari mentari pagi. Akhirnya kami
pun bernajak dari tempat kami menjauh dan meninggalkan 2 buah gelas plastic
yang sudah kehilangan volume nya.
Bagi kami, perasaan kami berbeda dengan nasib gelas kosong
yang makin lama makin kita beri jarak dan kita tinggalkan. Kekosongan yang kami
tinggalkan perlahan hingga kami lupa untuk menengok kebelakang. Menengok bahkan
berucap selamat tinggal pada gelas kosong bekas kopi tadi.
Langkah beriringan menuju parkiran dan melewati jalan yang
sudah mulai sepi dan semakin ramai dengan debu oleh petugas penyapu jalan. Debu
sudah mulai bertebangan membuat puspa harus melangkah lebih cepat, dikarenakan
dia alergi debu.
“ayo mas, debunya banyak banget aku bisa alergi kalo debu
kayak gini”. Sembari memegang tangan ku menarik untuk mempercepat langkah
meninggalkan area pantai.
Aku yakin ini hanya ketidaksengajaan dia menggandeng tangan
ku, yang jelas bila ini memang ketidaksengajaan aku harus benar-benar merasakan
tangan lembut puspa walau langkah harus semakin cepat.
Sesampainya di parkiran motor, muka puspa pun begitu
memerah. Aku fikir ini mungkin efek alergi debu.
Tapi ternyata tidak,
“maaf mas, aku gak sengaja” sambil melepas genggaman
tangannya dari tanganku
“ah tidak apa-apa kok, ini boleh segaja gandeng lagi
sekarang” ku ulurkan tanganku kembali
“ihhhh, maunya” dengan mukanya makin memerah
“mau kemana lagi kita?” Tanya ku mencoba untuk meredahkan
rasa malu dalam hati ini.
“yuk, sarapan yuk.. kita makan bubur paling enak di
Makassar” ajak dia sembari meletakkan helm di kepalanya.
Kami pun akhirnya menuju jalan mapanuki untuk sarapan di
bubur mbak sri.
Dengan mengikuti nya dari belakang karena tidak tau jalan,
akhirnya tidak lama kurang lebih 15 menit kami sampai di warung mbak sri.
Sembari memarkir, ada tukang parkir menghampiri kami.
Sembari memarkir puspa pun tersenyum kepada tukang parkir, seolah kenal akrab.
“eh mbk upa, baru kesini lagi. Udah lama gak lihat kesini”
kata abang parkir
“iya pak, sibuk banyak tugas kuliah” sembari senyum
terlempar menjawab pertanyaan tukang parkir
“hayo ini siapa hayo? Biasanya sendiri” pertanyaan abang
parkir seolah menggoda puspa sembari menunjuk ke arahku
“teman pak…” puspa pun tertawa geli
“oh saya kira pacarnya” sahut abang parkir
“teman special maksunya pak” ujarku berniat menggoda puspa.
Muka puspa pun memerah.. “udah ah ayo masuk buruan aku
laper”
Aku pun masih tertawa geli sembari jalan berdekatan menuju
tempat memesan bubur.
Dua mangkok bubur pun tersaji didampingi mangkok kerupuk dan
beberapa sajian meja lainnya.
Kami berdua pun akhirnya menikmati bubur yang tak lama
datang setelah kami pesan. Memang bubur ini sangat ramai dikala minggu pagi
seperti ini, bahkan terkadang harus mengantri menuju dan mencari meja kosong
yang ada.
Bubur ini begitu halus dan lembut, rasa ayam suwir dan ati
ampela itu begitu terasa jelas, menghiasi setiap kunyahan dalam mulut perlahan
masuk dalam lambung yang dari pagi kosong. Begitu nikmat!!
Ku perhatikan cara makan bubur puspa begitu unik, dia
mengunyah setiap sendok bubur itu dengan mata terpejam di setiap 3 detik
kunyahan pertama. Begitu menikmati dan seolah menunjukkan rasa.
Dari kejauhan seorang wanita paruh baya menghampir meja kami
dengan menyugukan beberapa tusuk ati ampela tambahan, dan menyapa puspa begitu
akrab.
“eh upa, dari tadi ki?” logat Makassar yang begitu cepat
dilontarkan ke upa
Ternyata wanita paruh baya itu adalah mbk sri sang pemilik
bubur fenomenal ini. Memang begitu lama ternyata puspa menjadi langganan setiap
pagi di mbk sri. Sehingga tak heran mbak sri yag begitu ramah itu sangat hapal
betul pelanggan setianya.
Perbincangan bahasa bugis pun terjadi begitu cepat sehingga
aku sulit mengerti setiap kata yang ada. Yang jelas sepertinya bahasan mereka
tertuju pada pria gembal wajah jawa yaitu aku.
Tak lama setelah ituu mbak sri kembali ke spotnya untuk
melayani pelanggan lain yang makin lama makin memadati warung sederhananya.
Tak lama aku menanyakan bahasan yang begitu kuduga adalah
tentang aku.
“ngomongin apa aja sih tadi dek?”
“ah mauuuuu taauuuuu aja,salah sendiri gak mau belajar
bahasa bugis, jadi kan gak tau. Hehhe”
“huh dasar kamu ya… bener ni gak mau ngasih tau? Kalau gak
mau ngasih tau aku habisin bubur ini”
“hahahhaha biarin”
Akhirnya dia pun tidak mau ngejelasin, dan akhirnya akupun
harus menghabiskan bubur yang super enak ini. Heheh
Bubur sudah habis kita makan, rindu pun sudah habis dan
terobati, perut yang terisi kenyang membuat kami tak ingin segera hengkang dari
bangku kayu warung mbak sri. Entah karena perut kenyang atau sengaja untuk
saling menikmati suasa romansa mentari losari yang masih terbawa sampai warung
bubur ini.
Karena antrian makin lama makin panjang memaksa kami untuk
meninggalkan bangku kayu itu. Artinya kami harus segera kembali dan tak tatap
muka hingga minggu depan lagi.
Selamat Ketemu Minggu Depan......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar