Sabtu, 04 Juli 2015

Cangkir Pertama

ilustrasi by : andi uci
Sore itu, pertengahan tahun.

Seperti biasa aku berlari menyusuri setiap lorong stasiun yang sudah mulai penuh sesak dengan orang keluar masuk stasiun.

Stasiun bogor yang masih di penuhi dengan pedagang asongan di setiap lorong pintu masuk ke dalam stasiun, belum tertata dan masih sangat padat.
Aku berlari kecil melewati satu demi satu orang dengan kegiatan nya masing masing, selip kanan selip kiri. Berpuluh kali terucap permisi, senyum kanan kiri dengan muka panic karena kereta listrik pukul 16.20 telah sudah berada di jalurnya dan hendak  berangkat.

Didepan loket tiket nafas ini masih terengah-engah di hadapan antrian yang tidak cukup panjang di depan. 2 menit lagi waktu di jam besar yang ada di stasiun menunjukkan pukul 16.20. aku sudah mendapatkan selemar tiket menuju stasiun pondok cina.

Tepat pintu kereta tertutup aku sudah di dalam kereta, masih dengan nafas yang terengah-engah berjalan menysuri gerbong untuk mencari tempat duduk dan berharap dapat tempat duduk agar raga ini bisa istirahat sejenak dalam kereta menghadapi ujian akhir semester ganjil ini.

Hampir setiap sore kaki ini tidak bisa tenang, kaki ini melaju kencang berlari mengejar jadwal kereta dan berharap tidak telat masuk kelas. Pekerjaan di kantor yang cukup padat membuat badan ini terasa agak lelah. Membutuhkan istirahat, 25 menit perjalanan, selalu ku isi dengan 10 menit membaca materi yang akan di bahas di kelas dan sisanya sering ku pakai untuk tidur di dalam gerbong.

Kali ini aku tidak bisa tidur walau badan ini terasa lelah setelah 8 jam bekerja di laboratorium dengan sampel bulanan yang cukup banyak sekali. Aku harus belajar, hari ini ujian akhir semester managemen sanitasi air dan lingkungan. Aku harus dapat nilai sempurna di mata kuliah ini, ini adalah matakuliah yang paling aku sukai di semester ini.

Bolak balik hingga kusut materi kuliah hardcopy ditangan kubaca habis berulangkali dikereta yang sore ini tidak cukup padat.
Kemudian handphone di saku kanan baju dinas hijau ini berbunyi menandakan ada pesan. Pesan singkat dari latif, sahabat akrab kuliah ku yang selalu dan sering membantuku dalam segala hal perkuliahan.

“gus, bu anis sudah masuk, udah mau mulai ujiannya di departemen, lo ada dimana?”

Kemudian aku pun semakin panic, masih 2 stasiun lagi aku baru sampai stasiun pondok cina. Semakin aku tidak tenang. Gelisah menghampiri, materi kuliah pun aku tutup dan ku simpang dalam tas using ku. Earphone pun aku pasang, music pun ku nyalakan demi meredam rasa panic ini. Ya aku memang mudah panic dan selalu ingin cepat sampai.

**

Stasiun pondok cina. Aku sudah standby di depan pintu kereta menunggu pintu terbuka dan bersiap berlari kencang menuju kampus. Yap pintu terbuka kaki ini membawa badan gempal berlari sesegera mungkin untuk sampai di ruangan kampus. Selalu diluar dugaan aku bisa berlari sekencang ini bila waktu ujian seperti ini.

Tangga department lantai 2 ku lewati dengan cepat, di depan pintu departemen aku menghentikan laju kaki yang sedari tadi tidak menegenal rem. Aku sudah terlambat 30 menit. Dengan senyum dan nafas terengah-engah aku perlahan memasuki departemen dan meminta izin untuk bisa mengikuti ujian akhir semester ini.

Finally, akhirnnya aku di ijinkan mengikuti ujian tanpa tambahan waktu. 50 soal pun harus ketempuh kurang lebih 30 meenit yang tersisa, sementara teman-teman ada yang sudah mulai beranjak di halaman terakhir ujian. Aku harus segera menyelesaikan dan menjawab semua soal ini secepatnya dan setelitinya agar aku mendapatkan nilai sempurna.

Beberapa menit berlalu, satu demi satu teman teman beranjak mengumpulkan lembar jawaban dan menyelesaikan ujian ini. Aku masih bertahan hingga akhirnya aku adalah orang yang tersisa di ruangan dingin ber ac dan soal yang tinggal beberapa nomor lagi aku selesaikan. Kemudian bu anis mengingatkan waktu sebentar lagi selesai dan dia harus segera balik kerumah ny karena sudah terlalu sore dan departemen juga sudah mulai sepi. Dan aku pun selesai di nomor 50 di menit ke 60 ujian berlansung. Aku pun mengumpulkan soal di meja bu anis dan beranjak keluar departemen yang kala itu tinggal pak nas petugas TU departemen yang terisisa dalam ruang itu.

Diluar latif dan beberapa teman lain sepertinya belum beranjak pulang. Mereka masih membahasa soal ujian tadi. Seperti biasa kita memang punya kebiasaan membahas soal kembali setelah ujian.

“eh gimana gus? Soalnya tadi? Bisa kan?”
“ya biasa lah tif kalo orang kepepet itu inspirasi nya keluar” 
dengan tertawa lebar aku menjawab  pertanyaan dengan gurauan yang meledak di depan departemen.

“udah ah ayo pulang pulang udah sore juga ih” 
santi dengan khas medok nya mengajak kami untuk bubar barisan dari depan departemen.

“aila… gw baru nyampe juga ih” aku mencoba menahan mereka
“ya elu baru nyampe, kita udah dari tadi cuy” 
jeany dengan khas bataknya itu selalu ngotot dan ngeledek

Mereka berempat adalah tulang punggungku dalam segala matakuliah, dengan nasib sks yang sama dan selalu dikelas yang sama membuat kita semakin mendekati kelulusan semakin kompak. Mungkin kalo gak ada mereka gak tau gimana lagi aku harus menjalani kehidupan perkuliahan di kampus almamater kuning ini.

(kami berjalan turun dari departemen menuju taman untuk rehat dan duduk sejenak sambil menyapa teman lain jurusan satu fakultas kami)

Sesampainya di taman, kami pun duduk. Di bangku tak jauh dari koperasi mahasiswa.
Tak jauh dari situ…. Indri memanggil…
“gusss….. “
Mendadak semua mata di bangku kami langsung tertuju pada indri di bangku ujung dekat majalah dinding kampus itu.

“cieeeee, udah deh kalo ibu negara yang manggil mah udah bakal di tinggal kita  mah” kompak suara jeany latif dan santi pecah di bangku kami…

Aku pun menghampiri indri yan terlihat duduk sendiri tanpa diitemani teman biasanya. Dia terlihat sibuk dengan setumpuk kertas yang terjepit dan banyak coretan , nampaknya itu adalah proposal penelitiannya yang masih belum terselesaikan. Dan baru tadi malam aku ingat dia membahas dalam pecakapan kita tentang hari ini dia bimbingan.

Tak lain dan tak bukan mungkin kertas penuh coretan itu adalah proposal penelitiannya yang sudah selesai di periksa sang pembimbing yang super sibuk.

Aku dan indri memang satu angkatan tetapi beda jurusan, sks hasil transferan dia lebih sedikit dari pada kami. Sehingga di bisa lulus lebih cepat dari pada kita. Sekarang dia sedang bingung kerena belum mengambil data untuk skrip nya dikarenakan dosennya yang terlalu posesif dengan penelitian indri.

Aku menghampiri indri dan meninggalkan bangku yang sedari dari riweuh dengan ejekan kepada ku. Memang aku dan indri sudah dekat di akhir semester ini dan teman-teman pun sering menjadi teman curhat ku atas segala hal tentang indri.

Sesampainya di bangku indri dia langsung menyambutku dengan senyumnya…

“tadi telat lagi ya kamu cit?”

Ya indri memang punya panggilan khusus kepada ku dengan sebutan ocit.
Ternyata dia tau aku lari begitu kencang tadi mengejar ujian..

“hehehe, iya lah kan hobi telatt mah..”\
“pantesan aku panggil gak nyaut tadi pas lari kekencengan kayak di kejar setan”
Ternyata indri sedari tadi ada di bangku itu nampaknya sengaja tidak pulang dulu menungguku.
“kok gak pulang sih ndi? Gmn tadi bimbingannya?”
“iya nunggu kamu, kan aku udah bbm kamu tadi aku tunggu disini, coba kamu buka handphone kamu deh”

“oh iya aada bbm kamu, sebentar ya.. aku bales dulu bbm dari kamu”
“ihhh gau usah,,, dasar kamu mah” dengan ketawa manjanya itu dia mencoba menyambut guyonan ku yang agak sedikt garing.

Kita sudah seperti orang khasmaran

“habis margib kita ngopi yuk di tempat biasa.. mau gak?”
“loh kamu gak kemalaman nanti pulangnya?” Tanya ku
“enggak kok, aku nanti nginep di bilqis aja, aku udah bawa baju ganti kok lagian sengaja mau nginep. 
Kan ini hari jumat malam, besok kamu juga libur, jadi kamu kalo pulang malam gak masalah kan?

Memang sebenarnya hampir beberapa minggu ini kami selalu bertemu tiap jumat malam sabtu untuk sekedar sharing dan menikmati kopi di kafe kimung di sekitar jalanan margonda.

**

Seusai magrib di kampus kami pun menutuskan untuk ke kiming café..

Aku dan indri dan tentunya si rio (motor matik pink indri) berjalan menuju jalanan margonda yang masih padat macet jam pulang kantor. Untung letak kimung tidak jauh dari jalan keluar kampus sehingga kami tidak perlu bermacet-macet ria.

Sesampainya  di kafe kimung, kami selalu mendapatkan  tempat duduk special di ujung dekat kaca jendela yang menghadap ke jalan. 2 kursi kosong itu memang selalu terfavorit sembari menikmati kopi.

Segelas cappuccino dingin dan secangkir cappuccino tersaji di meja kami yang tak lama tadi kita pesan.

“eits.. jangan diminum dulu ya cit biar aku yang nuangin gulanya special buat kamu”

Indri kali ini memang jago mengukur kadar kemanisan dalam secangkir cappuccino yang baru aku kenal ini, minuman kopi yang unik dan cantik ini beberapa waktu lalu dikenal kan indri kepadaku. Dan dial ah yang selalu menuangkan gula cair itu kedalam cangkir ku.

“yup udah selesai”

Sedari tadi dia sibuk dengan gula cair itu dan akhirnya selesai juga, pandangan mata nya tertuju pada ku dan cangkir cappuccino itu. Pandangan teduh dan penuh harap..

Setelah aku minum sruputan pertama dia selalu bilang: pass kan?... dan aku selalu merasakan rasa yang pass, pass di senyumnya yang sangat manis dan bola mata nya yang sangat cantik itu.

“ehhhmmmmmm…. Kali ini kurang ndi”
“kurang apa?”
“kurang lebar senyum mu…”

Kami pun tertawa lepas mencair suasana jumat malam ini.

Kami pun membahas hasil bimbingan indri dan ujian akhir semester ku tadi. Hampir sejam berlalu dan music music romantic di kafe ini pun berlalu terdengar. Bahasan kami senyuman hingga tawa kami mengisi setiap embun gelas di hadapan kami. Begitu berlalu berdua di meja ini, motor dan kendaraan yang memadati jalan itu sudah mulai tak padat, kami pun mulai kehabisan bahan perbincangan, mata yang saling menghadap keluar kaca menuju jalan.

“Hampa ya cit lama-lama”
“iya ndi, Hampa…..”
“kenapa ya cit bahagia itu seakan cepat berlalu”
“yang mungkin secara teori kita kalau bahagia lupa tuh sama waktu, sedangkan kalo gak bahagia kita menikmati proses sakit itu”
“kamu terlalu banyak berhitung cit…. jangan pake rumus napa, coba pake hati deh”

Aku pun langsung terdiam tak menjawab, bahasan kami kali ini begitu berubah, biasa hanya masalah teoritis dan seputar kampus sekarang dia sudah mulai membawa hati. Padahal sudah dari awal aku menggunakan hati ku untuknya, namun dia tidak pernah menyadari.
Secangkir cappuccino ini adalah bentuk apresiasi bahagia ku untuk duduk dan berbica dengannya, disini bahkan di mana aku tidak pernah menduga sebelumnya aku bisa sedekat ini dengannya, hanya beberapa jengkal bahkan hanya satu langkah kaki di hadapannya.
Nafas kami pun begitu dekat dan sangat dekat, bahkan hati ini sudah hampir dekat. Sepait apapun cappuccino ini, ini adalah media ku dengannya tetap terasa manis bagi ku.


“cit, kamu tau gak sih arti bahagia itu apa?”


see you next week at 22.00 PM gais.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar